Wawasan hal 22
Melakukan ritual kerohanian
“Ilmu pengetahuan diperoleh dengan ketekunan dalam bersusah payah belajar”. Dalam hal ini para pembaca tentu telah mengetahuinya. Karena itu, walau Pak Arjo adalah orang awam, tidak pernah berguru mencari ilmu kebatinan, tentu mengetahui bahwa semua peristiwa yang telah terjadi itu, harus disertakan sarana ritual tertentu.
Sebelumnya telah diceritakan bahwa ketika bersama mitranya mencari “orang tua”, setiap ada pelajaran baru, Pak Arjo tak mampu melakukan apa yang diajarkan pada hari itu, namun dilain waktu, senantiasa mampu melakukannya. Para mitranya kemudian berpendapat bahwa Pak Arjo telah punya “Guru”, namun siapa, dan dimana tempat tinggalnya. Inilah tujuan pembicaraan ini. Lebih lagi tatkala mengatakan “Aku akan diwejang Guru” pada Pak Kemi (pagi hari sebelum malam penerimaan wahyu sujud). Kesimpulannya, ritual kerohanian yang tak umum dilakukan dengan cara memandang matahari itu tentu atas perintah “Guru”nya.
Para pembaca yang berbudi luhur, hampir setiap orang warga Sapta Darma memastikan bahwa “Guru”nya adalah Hyang Maha Kuwasa. Tak dapat disalahkan, sebab Pak Arjo , sampai dengan wafatnya , tak pernah menceritakan hal ini. Hamba, yang hanya menerima ceritera ini dari para warga, juga memiliki pendapat yang sama.
Selanjutnya, ketika mengikuti penggalian , ada kalimat “terima wasiat dari Hyang Widhi”. (Mohon mengerti yang tersirat dari yang tersurat tersebut)
Ketika itu, hamba hanya menjalankan apa yang ditunjukkan oleh tuntunan penggalian (Pak Mukmin), tanpa bertanya lebih lanjut. Sekarang hamba agak menyesal, kenapa dulu tidak bertanya hal ini (Hyang Widhi). Hamba mengira bahwa Hyang Widhi adalah juga Hyang Maha Kuwasa. Bagaimana menurut pendapat para pembaca sekalian ? Terutama para warga/ tuntunan KSD.
Catatan: blog ini disertakan label :
Sri , Gutomo, Pawenang, Arjo, Sopuro, Harjosapuro, Suwartini, Hyang, Maha, Kuwasa, Widhi, Sapta, Darma, Kerohanian , warga , wahyu , budi , luhur , sujud , wewarah
Perjalanan hidup Sri Gutomo adalah peristiwa yang diamati dan dicatat dalam ingatan mengenai kehidupan Bapak Arjo Sopuro, penerima wahyu ajaran Sapto Darmo (Sapta Darma). Orang Jawa tidak terbiasa mencatat peristiwa yang terjadi disekelilingnya. Karena itu,setelah bertahun-tahun, tulisan ini hanya menghimpun ceritera dari pelaku sejarahnya saja. Banyak peristiwa ditulis tanpa tanggal, hanya dari ingatan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar