Senin, 14 Desember 2009

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 27)

Wahyu Sapta Darma

Turunnya wahyu Sapta Darma.
Didalam melakukan ritual sujud, para mitra Pak Arjo masih belum mengetahui, peristiwa apa yang akan terjadi. Walaupun demikian, makin banyak orang yang ikut menjalankan sujud, sebab dapat merasakan rasa tenteram dalam hati sanubarinya. Lebih lagi kemudian banyak yang memperoleh berkah berwujud gambar bermacam-macam tatkala menjalankan sujud ini. Gambar-gambar tersebut dinamakan sanepan atau sanepo atau kias. Pak Arjo melarang orang-orang menerangkan arti gambar tersebut secara umum. Sanepan harus diterangkan secara rasa, sebab itu adalah wejangan rasa.
Ada pertanyaan dalam menjalankan ritual sujud ini, yaitu: bila ritual sujud ini memang kehendak Hyang Maha Kuwasa, lantas apa tujuan sebenarnya. Pak Arjo juga tak mengetahui, apa kehendak Hyang Maha Kuwasa. Siang malam hanya sujud mengharapkan rahmat dari Hyang maha Kuwasa.


12 Juli 1954
Pagi hari itu, dirumah Pak Arjo hadir enam orang yang melakukan sujud. Pak Darmo, Pak Kemi, Pak Danu Miharjo, Pak Joyo Sadji, Pak Diman dan Pak Arjo.
sekitar jam 11.00, tak ada yang mengetahui dari mana asalnya, secara tiba-tiba tampak suatu gambar berwarna dimeja pak Arjo. Gambar ini sebentar tampak, sebentar lenyap dari pandangan. Tak ada yang menyuruh, tiba-tiba Pak Diman berdiri sambil menuding kearah meja tersebut sambil berteriak keras :"Ini harus digambar".
Demikian dikatakannya berkali-kali.
Seketika itu pula para mitra yang berada disitu kaget, dan segera keluar untuk membeli kuas dan cat. Ternyata, gambar tersebut tak hanya tampak di meja saja. Didinding ruangan dan ditopi para mitra juga tampak gambar itu. Malahan dibadan Pak Arjo juga terlihat gambar tersebut, sebentar kelihatan, kemudian menghilang, dan tampak lagi.Begitu berulang-ulang.
Toko cat hanya berjarak seratus meter dari rumah Pak Arjo. Karena itu, tak lama kemudian yang membeli cat sudah kembali. Pak Diman yang disuruh menggambar, sebab memang pandai menulis dan menggambar dengan bagus. Gambar itu digambar langsung pada permukaan meja.


Pada gambar tersebut tertulis tulisan dalam huruf Jawa. Diatas lingkaran tertulis Sapto, sedangkan dibawah lingkaran tertulis Darmo. Mengelilingi lingkaran tertulis Napsu, Budi, Pakarti.
Gambar Semar didalam lingkaran digambar Pak Arjo sendiri. Menurut Pak Kemi, ketika menggambarnya sambil mendendangkan lagu yang isinya mengungkapkan puji sjukur pada Hyang maha Kuwasa yang telah memberi rahmat pada umatnya didunia ini.
Setelah selesai proses menggambar ini, gambar tersebut lenyap.

Selanjutnya tampil tulisan yang tertulis dalam huruf Latin yaitu :

Wewarah Pitu
1. Setya tuhu marang ananing Pancasila Allah
Allah Hyang Maha Agung,
Allah Hyang Maha Rokhim,
Allah Hyang Maha Adil,
Allah Hyang Maha Wasésa,
Allah Hyang Maha Langgeng.
2. Kanthi jujur lan sucining ati,kudu setyo anindakaké angger-anggering negarané.
3. Mèlu cawé-cawé acancut tali wanda njaga adeging nusa lan bangsané.
4. Tetulung marang sapa baé yèn perlu,kanthi ora nduwèni pamrih opa baé kajaba mung rasa welas lan asih.
5. Wani urip kanthi kapitayan saka kekuwatané dhéwé.
6. Tanduké marang warga bebrayan kudu susila kanthì alusing budi pekerti tansah agawé pepadhang lan mareming liyan.
7. Yakin yèn kahanan ndonya iku ora langgeng tansah owah gingsir ( anyakra manggilingan ).

Selama proses penulisan, Pak Arjo memperhatikan dan mencocokkan tulisan tersebut dengan tulisan didinding yang kadang terlihat, kadang lenyap.
Selesai semuanya, tulisan didinding tersebut juga lenyap, digantikan tulisan:
Sesanti
Ing ngendi bae, marang sapa bae, warga sapta darma kudu sumunar pindo baskoro.


free counters

Selasa, 08 Desember 2009

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 26)

Wawasan hal 26

Racut
Racut itu mengandung arti lepas atau melepas. Racut baju kebesaran raja berarti melepas baju yang dikenakan. Apa yang hamba maksudkan racut disini adalah lepas atau perginya Hyang Maha Suci yang akan menghadap Hyang Maha Kuwasa.
Sudah diceriterakan diatas, bahwa Hyang Maha Suci itu yang menguasai kehidupan jasmani setiap orang. Bila jasmani ditinggalkan Hyang Maha Suci, tentu lemas raganya seperti wayang kulit Gatotkaca yang kehilangan sarana penegaknya (gapit).
Warga Sapta Darma tidak menyebutkan roh, jiwa, nyawa sukma dan lain-lain sebagainya, karena sudah mengetahui bahwa itu adalah Hyang Maha Suci, utusan Hyang Maha Kuwasa, yang ditugaskan memelihara jasmani manusia. Menyebut Hyang Maha Suci juga menunjukkan bahwa mengetahui yang menghidupinya. Umumnya, ditempat manapun, setiap orang selalu menyebutkan bahwa yang mengatur kehidupannya adalah Hyang Maha Kuwasa.
Melakukan ritual racut ini, tidak semaunya sendiri. Harus sujud dulu, dan kemudian ditambah satu sujudan lagi dengan ucapan "Hyang Maha Suci menghadap Hyang Maha Kuwasa". Bila direstui, artinya diberi sarana untuk hal itu, maka akan terlaksana sampai ketempat yang dituju.
Tatkala Pak Arjo masih berada bersama warga, ritual racut mudah dilaksanakan setiap saat. Walaupun begitu, Bila sekarang ada yang menginginkan, juga bisa terlaksana asalkan telah dapat membersihkan pribadinya dengan melakukan sujud yang tekun.
Bopo Sri Gutomo memberi tahu bahwa racut itu ritual yang rumit, bukan karena sulit, tetapi karena harus meneliti dulu keseluruhan kondisi tubuh. Harus diteliti dengan cermat agar semuanya berjalan sempurna, sebab akan ditinggal pergi Hyang Maha Suci. Ini yang disebut tunduk serta patuhnya saudara sebelas yang mengatur fungsi tubuh manusia.
Pada tahap awal, para warga dibimbing dalam ritual penggalian yang dilakukan selama dua belas malam atau enam hari siang malam.
Dalam hal ritual penggalian ini, hamba sarankan bertanya pada tuntunan penggalian yang bertugas untuk menerangkannya.
Tentang pusaka Nogososro dan Bendo Segodo, hamba kurang memahami, namun bila pembaca ingin tahu, dibawah ini ada gambar dan keterangan sekadarnya, yang telah hamba ambil dari internet.
***********
Para pembaca yang terhormat,
Ritual racut itu sesuatu yang amat langka. Tak terbatas hanya Pak Arjo saja yang mampu melakukannya. Para mitranya juga berhasil menjalankan ritual ini dengan mengikuti petunjuk Pak Arjo, walaupun sesungguhnya semua itu atas perkenan Hyang Maha Kuwasa. Peristiwa ini menunjukkan bahwa siapa saja bisa menghadap Hyang Maha Kuwasa dengan cara melakukan ritual racut.
Diceriterakan, sehabis racut, setiap orang merasa menerima/memegang bermacam gambar. Ada yang memegang bunga, yang lain memegang wayang kulit Arjuno atau Kresno dan sebagainya. Sedangkan Pak Arjo, setiap selesai melakukan racut, selalu merasa memegang gambar wayang Semar.
Menurut pendapatnya, semua itu adalah lambang yang mengkiaskan kepribadiannya.
Sebagai contoh, tatkala Pak Arjo melakukan racut, merasa menerima baju kebesaran kerajaan. Setelah mendekati kesadaran, pakaian tersebut seolah tetap masih menempel dibadan dan tak berubah bentuk. Hal ini menunjukkan bahwa kepribadiannya laksana raja yang berbudi luhur. Berbeda dengan Pak Kemi, tatkala melakukan racut juga menerima baju kebesaran kerajaan. Setelah kembali kesadarannya, merasa baju tersebut masih menempel ditubuhnya, hanya bentuknya berubah menjadi "klaras" yaitu daun pisang yang kering. Ini adalah pertanda yang menyatakan bahwa Pak Kemi itu adalah orang yang dapat menyelaraskan (klaras) kehidupannya dengan masyarakat sekelilingnya. Artinya dapat menyesuaikan diri dengan semua orang, kaya miskin, laki-perempuan, tua-muda, orang baik atau jahat.
Orang yang merasa memegang bunga, menandakan bahwa membawa nama harum, artinya, setiap orang membicarakan pribadinya yang baik. Oleh sebab itu, apa yang diterima Pak Arjo pada saat melakukan racut, tentu tak sama dengan perolehan para mitranya.
Pada kesempatan yang baik ini, hamba ingin menunjukkan gambar-gambar yang mungkin dapat menambah wawasan para pembaca. Semua gambar ini di"donlod" dari internet. Juga disertakan alamatnya, barangkali ada yang berminat "browsing"


SUMUR GUMULING
http://kratonjogja.com/isi.php?menu=heritage&lang=ina&sub=3
Nama Sumur Gumuling itu berarti dari Sumur yang mana Makmum (Umat)-nya berada di sekelilingnya. Imam yang memimpin tidak perlu menggunakan pengeras suara karena konstruksi bangunan yang melingkar menyebabkan adanya gema yang menyebabkan suara menjadi lebih keras.
Sumur Gumuling gb 1
Sumur Gumuling gb 2.
Sumur Gumuling gb 3.
Sumur Gumuling gb 4.
Sumur Gumuling gb 5.

SUMUR JOLOTUNDO
http://www.banjarnegarakab.go.id/menu.php?name=Halaman_Potensi&sop=lihat_halaman&artid=57

Sumur Jalatunda berasal dari kawah yang telah mati ribuan tahun yang lalu kemudian terisi air sehingga menyerupai sebuah sumur raksasa.
Sumur ini mempunyai garis tengah kurang lebih 90 meter dan kedalaman ratusan meter. Ada kepercayaan penduduk setempat jika seseorang berhasil melemparkan batu menyeberangi sumur tersebut, maka segala keinginannya akan terlaksana. Bahkan air sumur Jalatunda mempunyai kekuatan magic sehingga banyak dimanfaatkan wisatawan.
Sumur jolotundo GB 1.
Sumber : DISPARBUD Banjarnegara

http://smulya.multiply.com/photos/album/57#photo=1.jpg
Sumur Jolotundo gb 2.

http://smulya.multiply.com/photos/album/57#photo=3.jpg
Sumur Jolotundo gb 3.



KERIS NOGOSOSRO
http://kerisindonesia.blogspot.com/2006/02/keris-nogososro.html

Konon keris ini dibuat saat Majapahit (era pemerintahan Brawijaya IV, 1466 – 1478 M), terancam oleh issue pemberontakan Blambangan. Info ini didapat dari intelijen bahwa Adipati Blambangan akan mengadakan pemberontakan. Sang Prabu langsung mengeluarkan “inprab” (instruksi prabu … () yg isinya agar para Empu menyiapkan berbagai senjata guna menghadapi Blambangan. Seorang Empu bernama Pangeran Sedayu berhasil menyelesaikan sebilah keris berlekuk 13, yg kelak terkenal dengan sebutan keris Kanjeng Kyai Nogososro. Menurut kepercayaan yang ada, akhirnya Majapahit berhasil meredam berbagai bencana dari segala penjuru. Blambangan ditahlukkan. Pangeran Sedayu, bergelar Empu Supo Mandrangi.
http://upload.kapanlagi.com/images/thumb/20080826102933_Nagasasra_resize_48b3789d08bf9-t.jpg
Keris Nogososro
Keris ini berdapur Nagasasra, kinatah emas dan warangka ladrang Surakarta. Pendhok-nya bertabur intan
Nogo Sosro - Kinatah Emas
Tangguh Mojopahit
Warangka Ladrang Gaya Surakarta
Kayu Benggol Jati/ Tunas Jati
Pamor Sisik Ular
Dapur Luk 13 - Sangkelat
Fungsi : Kekuasaan / Kejayaan / Wibawa / Drajat

Keris NogoSosro gb 1.

Keris NogoSosro gb 2.

KERIS BENDO SEGODO
http://www.indomarketsite.com/product/detail/1
Deskripsi Produk

keris ini adalah pusaka peninggalan Sultan Hamengku Buwono IX. Berjenis pamor bendo segodo terlihat dari bentuknya menyerupai bulatan menggumpal dari bawah keatas. Tuahnya untuk jalan rejeki dan pergaulan serta ketentraman rumah tangga. Tergolong tidak pemilih.
http://www.heritageofjava.com/
BENDO SAGODO, pamor yang gambarnya merupakan bentuk gumpalan yang mengelompok rapat, masing masing gumpalan terpisah jarak 0.5 cm – 1 cm dan tergolong pamor rekan. Tuahnya gampang mencari rezeki dan pamor ini tidak pemilih.
Bendo Segodo
Tangguh Tuban / Majapahit
Warangka Sandang Walikat
Kayu Sawo
Pamor Bendo Segodo
Dapur Tilam Sari / Brojol
Fungsi : Kerejekian
Keris Bendo Segodo

free counters
Catetan: blog puniko mawi label :
boso, budi, darma, darmo, Gutomo, Hyang, jawi, jowo, Kuwasa, Kuwoso, lelampahan, Maha, sapta, sapto, Sri, wahyu, warga, wargo, Widhi

Minggu, 06 Desember 2009

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 25)

Rasanya dilindungi Hyang Maha Kuwasa.

Mengawali kesanggupan menerima penugasan
Seiring perjalanan waktu, pelaksanaan sujud ini tetap dilakukan oleh Pak Arjo dan mitra terdekatnya. Tak ada yang merasakan lelah apalagi menderita sakit dalam menjalankan sujud ini. Dalam kenyataan, dapat disebutkan bahwa semua rasa letih lesu , linu di persendian dan lain-lain seolah-olah menjauh dari badan.
Para handai taulan makin banyak yang ikut menjalankan sujud ini. Dapat disebut namanya, misalnya Pak Reso Kasirin (juragan kain batik) yang cukup kaya tetapi tidak punya anak, Pak Darmo (ipar Pak Soma Giman), Pak Danu Miharjo, Mantri guru Sekolah Dasar, Pak Jumadi, sopir angkutan barang, Pak sersan Diman, keponakan Pak Kemi dan yang lainnya yang belum hamba sebutkan karena keterbatasan hamba dalam menemukan sumber keterangan dalam hal ini.
Semua orang telah merasakan rasa tenteram dalam pribadinya. Tidak hanya sampai disitu saja, banyak yang menyatakan bahwa ketika menjalankan sujud, merasakan adanya perubahan suasana alam . Seolah sujud ditempat yang keindahan dan kenyamanannya tak terbayangkan. Walaupun pelaksanaan sujud dilakukan dirumah masing-masing, baru sebentar mata terpejam, langsung merasakan perubahan alam. Seolah sujud ditempat berbeda. Menurut Pak Kemi, hal demikian ini menandakan bahwa pelaksanaan sujud itu diberkati. Setelah Pak Sri (Pak Arjo) wafat, fenomena seperti ini jarang dirasakan, atau dapat dirasakan jika pelaksanaan sujud dilakukan dengan tekun dan kesungguhan hati.

Wahyu racut.
12 Februari 1953
Malam ini, banyak yang melakukan sujud dirumah Pak Arjo Sopuro. Selesai sujud, Pak Arjo memberi tahu agar besok pagi datang lagi, sebab akan menerima pelajaran baru.
Tanggal 13 Februari 1953
Pada pagi hari itu, hadir Pak Kemi, Pak JoyoJaimun, Pak Somagiman, Pak Darmo, Pak Reso Kasirin, berkumpul dirumah Pak Arjo Sopuro. Sekitar jam 10.00 pagi, ditengah-tengah pembicaraan, tiba-tiba Pak Arjo menghentikan pembicaraan itu dan selanjutnya berkata dengan jelas. "Teman-teman,lihat, ini aku akan mati, amat-amatilah". Semua jadi bingung dan jantungnya berdegup keras. Pak Kemi bergumam, "Apa jadinya kalau mati beneran". Selanjutnya Pak Arjo berbaring dengan kepala diarah Timur dan kaki kearah Barat. Kedua tangan bersidakep didepan dada. Ujung jari kanan menutupi ujung jari kiri ditempat yang disebut "CO". Kedua kaki saling merapat. Ini mirip keadaan orang mati.
Setelah menunggu sekitar seperempat jam, para mitra makin kebingungan. Selanjutnya ada yang meraba badannya, menempelkan telinga kedada. Tak terasa detak jantung ataupun napasnya. Ada yang memijit-mijit kakinya. Tak terasa ada tanda-tanda kehidupan. Dalam keadaan bingung itu akhirnya menyerah pasrah. Bila memang sudah sampai akhir hayatnya, andai disembunyikan dalam gedung besar dan terkunci rapat, kematian pasti datang menjemput.
Beberapa saat kemudian, perlahan-lahan tangannya bergerak. Membuat gembira mitra-mitra yang menunggunya. Tak begitu lama antaranya, kaki dan badannya mulai bergerak pula. Kemudian duduk termangu-mangu.. Barulah para mitra merasa lega. Hilang rasa kekhawatiran yang meliputi sanubari.
Setelah beberapa saat, pak Arjo mengucapkan kata "RACUT". Kata racut ini diucapkan secara tiba-tiba. Berikutnya Pak Arjo menceriterakan pengalaman yang disebutnya racut itu. Dalam keadaan racut itu, Pak Arjo melihat raganya tergeletak dilantai, dihadapan para mitranya. Selanjutnya merasa masuk kedalam tempat yang sangat indah tak terkirakan. Tak bisa menggambarkan keindahan tempat itu yang demikian sempurna. Kemudian masuk bangunan yang didalamnya ada tempat semacam pengimanan. Disana Pak Arjo Sopuro melakukan sujud. Selesai sujud tampak didepannya bayangan seorang raja yang bersinar menyilaukan. Sinarnya melebihi cahaya sejuta matahari. Pada saat itu Pak Arjo merasa dibopong dan dibawa kesuatu tempat yang terdapat dua sumur penuh air. Dalam pengertiannya itu adalah Sumur Gumuling dan Sumur Jolotundo. Setelah memperhatikan kemudian merasa diberi dua bilah pusaka keris yaitu Nogososro dan Bendo Sugodo. Selesai sudah proses itu. Selanjutnya merasa pulang kembali. Dalam perjalanan pulang itu merasa diikuti bintang yang besar sampai tersadar dihadapan para mitranya.
Inilah pengalaman racut yang fenomenal.
Pada kesempatan ini para mitranya dipersilahkan untuk mencoba melakukan ritual yang sama. Caranya, setelah melakukan sujud kemudian ditambah satu sujudan lagi dengan ucapan : "Hyang Moho Suci sowan Hyang Moho Kuwoso". Kemudian badan berbaring seperti yang telah dilakukan Pak Arjo dan seterusnya.
Banyak yang merasakan pengalaman sama, racut atau mati dalam keadaan hidup. Tatkala dalam keadaan racut, mendengar semua yang terjadi disekitarnya, tetapi tak dihiraukankan. Mengalami fenomena yang sama, bertemu Raja yang bercahaya menyilaukan, walaupun tidak dibopong atau diberi pusaka keris, dan setelah itu tersadar.
Pak Arjo mengingatkan, bahwa proses ritual racut ini amat rumit. Harus dlandasi dengan kebersihan rohani dan jasmani, barulah diharapkan dapat terlaksana. Bahwa para mitranya mampu melakukan racut saat itu karena memang mendapat berkah dari Hyang Maha Kuwasa.
Para pembaca, peristiwa yang baru terjadi ini disebut wahyu racut. Merasakan keadaan mati dalam hidup. Bila ingin melakukan ritual ini, pilihlah waktu leluasa, sebab tak bisa dilakukan dengan tergesa-gesa. Begitu pula carilah tempat yang tenang, jauh dari keramaian. Disarankan pula ada orang yang mengamati dan menjaga agar tak ada yang mengganggu.

free counters

Sabtu, 15 Agustus 2009

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 24)

Wawasan hal 24

Permohonan yang kemudian memperoleh berkah budi luhur.
Pada awalnya, keinginan hanya sebatas memperoleh penghasilan yang agak baik, agar tidak terlalu menderita dalam menempuh kehidupan sehari-hari.
Sekarang, setelah mengetahui bahwa sujud ini langsung dapat berhubungan dengan Hyang Maha Kuwasa, yang menurutnya dapat memberi apapun yang diminta, lantas mempunyai keinginan yang lebih tinggi atau luhur. Walaupun tidak diminta dengan ucapan, semua yang tersimpan dalam sanubari, mendapat berkah.( Warga Sapta Darma tidak diperkenankan menyebutkan permintaan dalam melakukan sujud ).
Didalam sanubari Pak Arjo hanya ada keinginan untuk menyebarkan perihal sujud ini keseluruh dunia.
Inilah yang hamba sebutkan sebagai permohonan yang kemudian memperoleh berkah budi luhur.
Sekian dulu.


free counters
Catatan: blog ini disertakan label :
Sri , Gutomo, Pawenang, Arjo, Sopuro, Harjosapuro, Suwartini, Hyang, Maha, Kuwasa, Widhi, Sapta, Darma, Kerohanian , warga , wahyu , budi , luhur , sujud , wewarah

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 23)

Wawasan hal 23

Kesetaraan dalam hidup.
Wahyu , berdasarkan buku-buku yang hamba baca dan menurut cerita para warga Sapta Darma, berupa perintah atau pengertian dari Hyang Maha Kuwasa. Tetapi yang ditugasi membawa atau mengabarkan berita itu, tak pernah diceritakan. Tak ada yang disembunyikan, tetapi memang tak ada yang menanyakan hal tersebut tatkala Bopo Sri Gutomo masih bersama kita. Oleh sebab itu, peristiwa yang hamba tulis dalam “Kesetaraan dalam hidup” itu, dapat disebutkan sebagai salah satu wahyu, yang memberi pencerahan, bahwa sesama hidup tak ada yang harus disembah. Kita hanya menyembah pada Hyang Maha Kuwasa .


free counters
Catatan: blog ini disertakan label :
Sri , Gutomo, Pawenang, Arjo, Sopuro, Harjosapuro, Suwartini, Hyang, Maha, Kuwasa, Widhi, Sapta, Darma, Kerohanian , warga , wahyu , budi , luhur , sujud , wewarah

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 22)

Wawasan hal 22


Melakukan ritual kerohanian
“Ilmu pengetahuan diperoleh dengan ketekunan dalam bersusah payah belajar”. Dalam hal ini para pembaca tentu telah mengetahuinya. Karena itu, walau Pak Arjo adalah orang awam, tidak pernah berguru mencari ilmu kebatinan, tentu mengetahui bahwa semua peristiwa yang telah terjadi itu, harus disertakan sarana ritual tertentu.
Sebelumnya telah diceritakan bahwa ketika bersama mitranya mencari “orang tua”, setiap ada pelajaran baru, Pak Arjo tak mampu melakukan apa yang diajarkan pada hari itu, namun dilain waktu, senantiasa mampu melakukannya. Para mitranya kemudian berpendapat bahwa Pak Arjo telah punya “Guru”, namun siapa, dan dimana tempat tinggalnya. Inilah tujuan pembicaraan ini. Lebih lagi tatkala mengatakan “Aku akan diwejang Guru” pada Pak Kemi (pagi hari sebelum malam penerimaan wahyu sujud). Kesimpulannya, ritual kerohanian yang tak umum dilakukan dengan cara memandang matahari itu tentu atas perintah “Guru”nya.
Para pembaca yang berbudi luhur, hampir setiap orang warga Sapta Darma memastikan bahwa “Guru”nya adalah Hyang Maha Kuwasa. Tak dapat disalahkan, sebab Pak Arjo , sampai dengan wafatnya , tak pernah menceritakan hal ini. Hamba, yang hanya menerima ceritera ini dari para warga, juga memiliki pendapat yang sama.
Selanjutnya, ketika mengikuti penggalian , ada kalimat “terima wasiat dari Hyang Widhi”. (Mohon mengerti yang tersirat dari yang tersurat tersebut)
Ketika itu, hamba hanya menjalankan apa yang ditunjukkan oleh tuntunan penggalian (Pak Mukmin), tanpa bertanya lebih lanjut. Sekarang hamba agak menyesal, kenapa dulu tidak bertanya hal ini (Hyang Widhi). Hamba mengira bahwa Hyang Widhi adalah juga Hyang Maha Kuwasa. Bagaimana menurut pendapat para pembaca sekalian ? Terutama para warga/ tuntunan KSD.


free counters
Catatan: blog ini disertakan label :
Sri , Gutomo, Pawenang, Arjo, Sopuro, Harjosapuro, Suwartini, Hyang, Maha, Kuwasa, Widhi, Sapta, Darma, Kerohanian , warga , wahyu , budi , luhur , sujud , wewarah

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 21)

Hyang Maha Kuwasa mengabulkan semua permohonan.

Permohonan yang kemudian memperoleh berkah budi luhur .
Dalam kurun waktu itu, Pak Arjo dan para mitranya, setiap malam selalu melakukan sujud kepada Hyang Maha Kuwasa. Tak tahu apa yang harus dilakukan, kecuali selalu sujud saja setiap malam hari.
Setelah mengerti bahwa semuanya adalah kehendak Hyang Maha Kuwasa, semakin tekun melakukan sujud.
Kembali pada awal tujuan sebelumnya, tentang keinginan ketika itu, tatkala bersama-sama mencari “orang tua” , semua orang memiliki keinginan sama, yaitu agar memperoleh rejeki yang agak cukup. Sekarang, karena yakin bahwa dihadapan adalah Hyang Maha Kuwasa, kemudian masing-masing memiliki keinginan sendiri, berbeda dengan keinginan asebelumnya.
Pak Soma Giman, yang pada waktu itu bekerja sebagai kernet (pembantu sopir) , sekarang memiliki keinginan punya anak yang banyak dan truk yang banyak pula. Pak Joyo Jaimun, tiap hari selalu berada dilapaknya menunggui dagangan sepatu, sandal dari kulit, punya keinginan agar dagangannya laris. Pak Arjo Sopuro, mempunyai keinginan untuk menyebarkan perihal sujud ini ke seluruh dunia. Sedangkan Pak Kemi menginginkan agar anak cucunya memiliki wawasan budi luhur dan tak tertinggal dari yang lain dalam menempuh kehidupan ini.
Ternyata, apa yang tersirat dalam hati ini terkabul semuanya. Pak Soma Giman yang pada awalnya bekerja sebagai kernet saja, terlaksana memiliki 12 putra/putri dan juga memiliki 17 buah truk. Pak Joyo Jaimun mengalami dagangannya laris sampai akhir hidupnya. Pak Arjo Sopuro, yang kemudian menjadi Tuntunan Agung wargo Sapto Darmo, juga terlaksana menyebarkan ajarannya sampai kemanca negara. Pak Kemi, petani lugu, tak pernah bersekolah, dan hanya memiliki sawah seluas seperlima hektar , semua putranya menjadi perwira menengah, begitu pula putrinya diperistri perwira menengah.
Itulah semua yang telah dicapai oleh para mitra dan Pak Arjo . Pada kesempatan lain, Pak Kemi pernah menambahi ucapannya: “Andaikan Arjo berpendidikan lebih tinggi, tentu Sapto Darmo lebih termasjhur di dunia”


free counters
Catatan: blog ini disertakan label :
Sri , Gutomo, Pawenang, Arjo, Sopuro, Harjosapuro, Suwartini, Hyang, Maha, Kuwasa, Widhi, Sapta, Darma, Kerohanian , warga , wahyu , budi , luhur , sujud , wewarah

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 20)

Sesembahan hanya kepada Hyang Maha Kuwasa.

Kesetaraan dalam hidup.
Waktunya masih pagi, tak tercatat hari, tanggal, bulan dan tahun kejadiannya.
Pagi itu Pak Kemi kedatangan seseorang dari Koplakan, atas permintaaan Pak Arjo. Dengan tergesa-gesa menyampaikan pesan Pak Arjo, agar Pak Kemi segera datang kerumah Pak Arjo Sopuro.
Sesampainya disana, melihat kejadian yang sangat menakjubkan. Dengan disaksikan banyak orang, didalam rumah Pak Arjo terlihat peristiwa yang amat langka. Pak Joyo Jaimun jatuh bersujud didepan Pak Arjo yang berdiri kaku didepannya, sambil mengucapkan kata-kata dengan suara keras: “ Aku sujud pada Hyang Maha Kuwasa”. Kejadian ini dilakukan tanpa mampu dicegah. Selanjutnya berganti Pak Arjo jatuh bersujud didepan Pak Joyo Jaimun yang telah berdiri tegak dan kaku didepannya. Pak Arjo juga mengucapkan kata-kata dengan suara keras: “ Aku sujud pada Hyang Maha Kuwasa”. Kejadian ini berulang, ganti berganti sujud tanpa dapat dicegah atau dihentikan. Setelah berlangsung hampir satu jam, disela-sela kejadian, Pak Arjo berteriak dengan keras: “Panggilkan Pak Kemiiiii”, demikian kejadiannya, sampai Pak Kemi datang menyaksikan peristiwa ini. Setelah datang dan melihat kejadian ini, anehnya tak lama kemudian peristiwa ini berhenti.
Setelah istirahat sejenak, Pak Arjo menceritakan bahwa Pak Kemi adalah orang yang ditunjuk oleh Hyang Maha Kuwasa untuk menjadi saksi peristiwa tersebut. Pada akhir cerita, Pak Arjo memberitahu bahwa sesama hidup tak ada yang harus disembah. Sembah hanya untuk Hyang Maha Kuwasa.
Oleh karena itu, tatkala Pak Joyo Jaimun menyembah pada Pak Arjo, tidak mengucapkan “Aku menyembah Arjo Sopuro” , begitu pula tatkala Pak Arjo Sopuro menyembah pada Pak Joyo Jaimun, juga tidak mengucapkan: “Aku menyembah Joyo Jaimun”, melainkan “Aku menyembah pada Hyang Maha Kuwasa”.
Pada peristiwa ini, Pak Kemi hanya menyatakan : “Aku memperoleh sedikit wahyunya Arjo”

free counters
Catatan: blog ini disertakan label :
Sri , Gutomo, Pawenang, Arjo, Sopuro, Harjosapuro, Suwartini, Hyang, Maha, Kuwasa, Widhi, Sapta, Darma, Kerohanian , warga , wahyu , budi , luhur , sujud , wewarah

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 19)

Ritual yang tak umum.

Tukang potong rambut dan matahari.
Setelah terjadi peristiwa diatas (turunnya wahyu sujud), Pak Arjo tetap menjalankan rutinitas pekerjaan sehari-hari. Tatkala ada yang akan potong rambut, juga dilayani. Namun, setiap mulai mencukur, tangannya tidak mampu menjalankan tugasnya. Cukurannya morat-marit. Rambut terpotong tak beraturan. Akhirnya para pelanggan menjauh, tak mau potong rambut disitu.
Pak Arjo menganggur. Namun rejeki selalu datang, entah dari mana saja. Keluarga Pak Arjo tak pernah kekurangan makanan. Hal ini berlangsung terus menerus sampai dengan akhir kehidupan Pak Arjo dan Ibu Arjo.
Sejak saat itu Pak Arjo melaksanakan ritual yang tidak umum dilakukan oleh pengikut kebatinan.
Setiap hari, mulai jam 09.00 pagi, Pak Arjo duduk atau berdiri didepan rumahnya, memandang matahari hamper tanpa berkedip. Masyarakat sekitar tidak mengetahui, apa tujuannya melakukan ritual seperti itu. Ritual ini dilakukan mulai jam 09.00 pagi sampai jam 15.00 siang. Yang menyaksikan menyangka Pak Arjo sudah menjadi gila.
Tetapi nyatanya tak terjadi sesuatu apapun. Artinya, kehidupan sehari hari berjalan seperti biasanya.
Yang menimbulkan keheranan orang adalah, perilaku memandang matahari setiap harinya ternyata tidak menimbulkan masalah pada penglihatannya. Tak ada perubahan apapun dalam melihat dan memandang sekitarnya . Sama seperti keadaan sebelum melakukan ritual tersebut.

free counters
Catatan: blog ini disertakan label :
Sri , Gutomo, Pawenang, Arjo, Sopuro, Harjosapuro, Suwartini, Hyang, Maha, Kuwasa, Widhi, Sapta, Darma, Kerohanian , warga , wahyu , budi , luhur , sujud , wewarah

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 18)

Melakukan ritual kerohanian
Pak Arjo adalah seorang awam. Tak pernah melakukan ritual kerohanian seperti umumnya orang berguru ilmu kebatinan.
Puasa Senin Kamis, hanya makan nasi putih selama ritual, ritual membisu , apalagi berendam disungai, tidak pernah dilakukan.
Berwatak disiplin, tidak percaya pada hal-hal yang bersifat kasat mata, dan juga sama sekali tak mau menghiraukan makam/kuburan, memberi sesajen pada pohon beringin yang diyakini masyrakat sebagai pembawa keselamatan, juga tidak terhadap segala jenis senjata kuno yang diyakini masyarakat sebagai pusaka bertuah, tombak, keris, dan sebagainya.
Sepanjang waktu, tatkala berpindah pindah tempat bermalam dirumah mitranya , dapat melihat dan mengetahui hal-hal yang sebelumnya tidak terpantau. Misalnya di rumah Pak Kemi, Pakn Arjo mengetahui adanya bermacam tumbal yang dipendam dalam tanah, yaitu tulang babi dan tulisan huruf Arab yang dibungkus kain kafan. Tumbal ini adalah sarana untuk menolak teluh dan juga untuk keselamatan keluarga Pak Kemi.
Selanjutnya, atas perkenan Pak Kemi, semuanya diambil dan kemudian dibuang kesungai.
Ada tumbal yang dinamakan “Cok Bakal” , yang berupa sesajian yang ditempatkan dipojok sawah, itupun diambil dan dibuang kesungai.
Yang lebih aneh lagi, jika makan makanan dari warung, sehabis makan lantas muntah muntah. Setelah ditanya , kemudian memberi tahu bahwa pemilik warung penjual makanan itu melakukan ritual sesajen pada tempat tertentu, agar jualannya laris. Padahal, sebelum ada peristiwa kedatangan wahyu tersebut , warung tersebut menjadi langganan , dan setelah makan juga tak terjadi masalah apapun.

free counters
Catatan: blog ini disertakan label :
Sri , Gutomo, Pawenang, Arjo, Sopuro, Harjosapuro, Suwartini, Hyang, Maha, Kuwasa, Widhi, Sapta, Darma, Kerohanian , warga , wahyu , budi , luhur , sujud , wewarah

Kamis, 13 Agustus 2009

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 17)

Wawasan hal 17

Peristiwa kedatangan wahyu.

Disebutkan bahwa wahyu datang secara tiba-tiba. Tetapi bukan berarti sama sekali tak ada tanda-tanda yang mengawalinya. Setelah merenung dan mengingat ingat, ternyata memang tanda-tanda kedatangan wahyu itu ada, tetapi luput dari pengamatan. Jika mengingat bahwa pada Kamis Pon 26 Desember 1952 sekitar jam 09.00 pagi itu Pak Arjo memberitahu Pak Kemi bahwa ada perintah dari "guru"nya untuk pulang karena akan di"wejang guru", dapat disimpulkan bahwa saat itulah awal kedatangan wahyu tersebut.

Proses tersebut berlangsung terus dengan puncaknya terjadi pada jam 01.00 malam hari sampai jam 03.30. Belum berakhir sampai disitu, sebab mitranya: Pak Kemi dan Pak Joyo Jaimun serta dengan Pak Soma Giman juga merasakan getaran dan gerakan luar biasa tersebut sampai jam 09.00 pagi. Maka proses kedatangan wahyu sujud ini mulai jam 09.00 pagi tanggal 26 Desember 1952 sampai dengan jam 09.00 tanggal 27 Desember 1952.

- - - - - - -

Penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya pada pembaca, terutama para warga Kerohanian Sapta Darma, karena tanpa perkenan telah menulis proses kedatangan wahyu, yang mungkin berbeda dengan apa yang selama ini telah diketahui para Warga. Ada versi yang mengatakan bahwa orang pertama yang diberitahu tentang kejadian luar biasa ini adalah Pak Joyo Jaimun, mengingat rumahnya paling dekat dengan rumah Pak Arjo. Ada pula yang menulis bahwa Pak Soma Gimanlah yang pertama dituju, dengan catatan Pak Soma Giman orang yang memiliki banyak ilmu. Penulis hanya mencatat, bahwa Pak Kemi sampai akhir hayat (tahun 1993) tetap melakukan sujud sebagai cara untuk menyembah Hyang Maha Kuwasa. Beliaupun tak pernah mempermasalahkan, siapa yang pertama kali didatangi Pak Arjo ketika menerima wahyu tersebut.

free counters
Catatan: blog ini disertakan label :
Sri , Gutomo, Pawenang, Arjo, Sopuro, Harjosapuro, Suwartini, Hyang, Maha, Kuwasa, Widhi, Sapta, Darma, Kerohanian , warga , wahyu , budi , luhur , sujud , wewarah

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 16)

Peserta wanita pertama.

Catatan
Para sahabat Pak Arjo yang telah menjalani sujud, ada yang tetap melakukan sujud sampai akhir hayat. Tetapi banyak pula yang hanya ingin mengetahui ajaran ini, selanjutnya tidak melakukan sujud lagi. Hal tersebut terserah pada pribadi masing-masing. Dari kalangan putri, Ibu Sukemi adalah wanita pertama yang melakukan sujud.Dan tetap melakukan sujud sampai akhir hayat (tahun 2000). Ibu Arjo Sopuro malah belakangan baru sujud.

free counters
Catatan: blog ini disertakan label :
Sri , Gutomo, Pawenang, Arjo, Sopuro, Harjosapuro, Suwartini, Hyang, Maha, Kuwasa, Widhi, Sapta, Darma, Kerohanian , warga , wahyu , budi , luhur , sujud , wewarah

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 15)

Kesaksian para pengikut kebatinan.
Pada waktu itu banyak pengikut kebatinan yang mendapat firasat bahwa akan terjadi peristiwa kedatangan wahyu besar Orang mengatakan "pulung agung". Karena itu, sebagian besar melakukan ritual mengurangi tidur dimalam hari dan bersemadi ditempat tertentu. Ada beberapa orang melihat dengan mata batin, suatu cahaya besar jatuh menuju kampung Koplakan Pare diikuti dengan suara bergemuruh, dalam sanubari. Benar atau tidak, hamba tidak dapat memberi komentar.

free counters
Catatan: blog ini disertakan label :
Sri , Gutomo, Pawenang, Arjo, Sopuro, Harjosapuro, Suwartini, Hyang, Maha, Kuwasa, Widhi, Sapta, Darma, Kerohanian , warga , wahyu , budi , luhur , sujud , wewarah

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 14)

Dukun tiban ???

Para sahabat.
Setelah terjadi peristiwa kedatangan wahyu, para sahabat dan mereka yang kenal dengan Pak Arjo, bersama-sama ingin menyaksikan kejadian tersebut, dan kemudian melakukan sujud seperti Pak Arjo. Ternyata gerak tubuh itu tidak terbatas pada sujud saja. Ketika Pak Joyo Jaimun berkata “Aku ingin mengetahui gerak tubuh Sukmo Nogo (Sukma Ular Naga)”, seketika itu pula badannya terbanting kemudian bergeliat-geliat seperti pergerakan ular. Begitu pula tatkala berkata ingin mengetahui gerak Mayonggo Seto (Kera Putih), saat itu pula berceloteh seperti kera dan meloncat-loncat kesana kemari. Latihan ini dilakukan pada malam hari. Terkadang ada suara auman layaknya auman singa, suara kaki berdebugan seperti latihan bela diri dan sebagainya.
Rumah Pak Arjo berdinding gedeg (anyaman bambu) yang berlubang-lubang. Para tetangga sering mengintip dari celah-celah dinding anyaman bambu itu. Salah seorang , ketika sedang asyik mengintip, matanya disengat kalajengking, kemudian berteriak-teriak. Pak Arjo mendekat. Setelah diusap dengan tangan, hilang sakitnya. Selanjutnya ada orang lain yang sakit, dapat disembuhkan pula. Lama kelamaan, banyak orang sakit berdatangan ketempat ini. Semuanya dapat disembuhkan. Karena itu kemudian tersebar berita bahwa ada dukun baru di kampung Koplakan Pare.

free counters
Catatan: blog ini disertakan label :
Sri , Gutomo, Pawenang, Arjo, Sopuro, Harjosapuro, Suwartini, Hyang, Maha, Kuwasa, Widhi, Sapta, Darma, Kerohanian , warga , wahyu , budi , luhur , sujud , wewarah

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 13)

Tempat turunnya wahyu.

Kampung Koplakan.
Pada tahun 1952 (turunnya wahyu), kampung Koplakan telah terkenal sebagai tempat kumuh, tempat mangkal para preman yang melakukan berbagai kejahatan. Bila ada pencopet atau pencuri yang ketahuan dan kemudian dikejar orang, arah larinya pasti ke Koplakan. Kalau sudah sampai disana, bersembunyi, dan tak bisa ditemukan, karena disembunyikan oleh orang-orang disana. Dikampung Koplakan ini pula tempat orang melakukan permainan Ni Diwud (Jaelangkung), minum minuman keras, bermabuk-mabukan, orang berjudi dan sebagainya.. Karena itu, penduduk kecamatan Pare menjauhi kampung Koplakan ini , khawatir bila nanti terbawa oleh kelakuan para penghuni disitu.

free counters
Catatan: blog ini disertakan label :
Sri , Gutomo, Pawenang, Arjo, Sopuro, Harjosapuro, Suwartini, Hyang, Maha, Kuwasa, Widhi, Sapta, Darma, Kerohanian , warga , wahyu , budi , luhur , sujud , wewarah

Rabu, 12 Agustus 2009

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 12)

Lanjutan peristiwa kedatangan wahyu

Pagi itu, diliputi rasa takut yang amat sangat, Pak Arjo segera pergi kerumah Pak Kemi, dengan tujuan akan menceriterakan kejadian yang telah dialaminya, mungkin Pak Kemi dapat memberi penjelasan tentang hal ini, sebab Pak Kemi memiliki pengetahuan luas karena sudah pernah berguru empat puluh kali. Harapannya Pak Kemi dapat menerangkan kejadian ini.
Sesampainya dirumah Pak Kemi, bertemu Pak Kemi sendiri. Belum sampai selesai bercerita tentang kejadian semalam, tubuh Pak Kemi tiba-tiba bergerak melakukan sujud menghadap ke Timur, dan mengucapkan kata-kata seperti yang terjadi dengan Pak Arjo semalam.
Merasakan gerakan disertai getaran yang demikian dahsyat, Pak Kemi tak dapat berkomentar apapun. Kaget dan takjub disertai rasa takut. Setelah istirahat beberapa saat, baru dapat saling berbicara. Kemudian Pak Arjo melanjutkan ceritera tentang apa yang dialaminya semalam. Selanjutnya diambil keputusan untuk bersama mendatangi rumah Pak Joyo Jaimun.
Disana, dirumah Pak Joyo Jaimun, kejadian tersebut terulang kembali. Begitu pula ketika mereka bertiga pergi kerumah pak Soma Giman.
Untuk selanjutnya, keempat orang tersebut sepakat untuk melakukan sujud ini dirumah masing-masing. Hanya Pak Arjo , bila malam telah tiba, tidak berani tidur di rumahnya sendiri., merasa takut bila nanti ada gerakan lagi. Karena itu, Pak Arjo, bila malam telah tiba, berpindah tidur bersama-sama. Terkadang di rumah Pak Kemi, dirumah Pak Joyo Jaimun , Pak Soma Giman atau dirumah Pak Arjo sendiri di kampung Koplakan itu.

free counters
Catatan: blog ini disertakan label :
Sri , Gutomo, Pawenang, Arjo, Sopuro, Harjosapuro, Suwartini, Hyang, Maha, Kuwasa, Widhi, Sapta, Darma, Kerohanian , warga , wahyu , budi , luhur , sujud , wewarah

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 11)

Peristiwa kedatangan wahyu.
Tanggal 26 Desember 1952.
Masih pagi Pak Arjo sudah berada dirumah Pak Kemi di desa Gedang Sewu Pare. Sekitar jam 9.00 pagi, Pak Arjo berkata pada Pak Kemi: “Kakak, aku mau pulang sekarang, akan mendapat pelajaran dari Guru” Mendengar perkataan ini Pak Kemi merasa heran, dalam hati bertanya-tanya “Siapa Gurunya Arjo itu”
- - - - - - - - -
Mohon maaf sebelumnya untuk para pembaca., saya akan menulis saat kejatuhan wahyu, hanya sekedar mengulang ceritera saja, tentu akan banyak kesalahannya, karena tidak turut hadir pada saat kejadian yang sebenarnya. (Umurku baru 9 tahun tatkala itu, dan jaraknya 50 Km dari rumah orang tuaku)
Para saksi, kalau ada yang masih hidup, mohon untuk membetulkan penuturan ini.
- - - - - - - - -
Malam itu (26 Desember 1952) Pak Arjo sedang duduk bersender disalah satu tiang pada dinding rumahnya menghadap ke Barat.
Tak ada yang mengetahui awal mulanya, sekitar jam satu malam, tiba-tiba kedua lengan tangan seolah dipaksa bersikap sedakep, tangan kanan menutupi tangan kiri, begitu pula kedua kaki dipaksa bersila dengan kaki kanan menutupi kaki kiri.
Selanjutnya badan diputar menghadap kearah Timur. Kemudian mulut mengucapkan kalimat :”Allah Hyang Moho Agung, Allah Hyang Moho Rochim, Alah Hyang Moho Adil, Allah Hyang Moho Wasesa, Allah Hyang Moho Langgeng". Kata-kata ini diucapkan dengan keras, spontan dan tak dapat ditahan-tahan.
Setelah selesai, tubuh Pak Arjo menunduk kebawah sampai kening dan hidung menempel dilantai (sujud). Sujud ini berlangsung tiga kali. Sujud pertama, ketika kening dan hidung menempel dilantai, mulutnya mengucapkan “Hyang Moho Suci sujud Hyang Moho Kuwoso” Kalimat itu diulang tiga kali.
Sujud kedua, seperti diatas dengan ucapan “Kesalahane Hyang Moho Suci nyuwun ngapuro Hyang Moho Kuwoso” Juga diulang tiga kali.
Sujud ketiga, ucapan “Hyang Moho Suci Mertobat Hyang Moho Kuwoso”. Ucapan ini diulang tiga kali pula.
Gerak sujud ini tak dapat ditahan atau dibatalkan. Padahal berlangsung mulai sekitar jam satu tengah malam sampai dengan pukul 3.30 pagi, (ayam jago berkokok pagi hari). Setiap kali gerak sujud ini diulang kembali mulai dari awal. Tak dapat dihentikan. Pak Arjo dipaksa melakukannya sampai sangat kepayahan.

free counters
Catatan: blog ini disertakan label :
Sri , Gutomo, Pawenang, Arjo, Sopuro, Harjosapuro, Suwartini, Hyang, Maha, Kuwasa, Widhi, Sapta, Darma, Kerohanian , warga , wahyu , budi , luhur , sujud , wewarah

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 10)

Ramalan.

Bahwa pak Sastro menunjuk Pak Arjo akan menjadi guru rohani, bukan berdasar ramalan, tetapi berdasar sifat dan kepribadian Pak Arjo yang patut untuk menjadi guru rohani.

Hubungan keluarga Pak Arjo Sopuro dan Pak Kemi.

Menurut penuturan, memang antara Pak Arjo dan Pak Kemi itu seperti ada ikatan batin yang sangat erat. Masing-masing seperti tahu apa yang telah dan akan dilakukan dalam kehidupannya. Karena itu tak heran bila hubungan kedua keluarga itu seperti saudara sendiri.

Bapak Sukemi Handini (Pak Kemi)Pak Kemi ini sebagai saksi pertama turunnya wahyu, dan juga ikut menyaksikan wafatnya Pak Arjo pada tahun 1964. Menurut catatan lahir pada waktu gunung Kelud meletus tahun 1901 dan wafat tahun 1993 dirumahnya dusun Gedang Sewu. Disebut Gedang Sewu karena lahannya dipenuhi pohon pisang. Pak Diman, yang pertama kali menggambar simbol Sapta Darma adalah keponakan Pak Kemi. (Sekitar tahun 2000 Pak Diman masih hidup). Sampai akhir hayat, Pak Kemi tetap menjalankan sujud, dan menjadi tempat bertanya dan memberi saran pengobatan orang-orang, terutama penduduk kecamatan Kepung, dua belas kilometer dari Pare, dikaki gunung Kelud. Tidak pikun, dan ingat semua kejadian yang telah dialami, termasuk awal penerimaan wahyu. Beliau selalu berpesan untuk tidak mendiskusikan apa yang dilihat dan diamati pada waktu sujud, karena itu akan memendekkan umur. Demikian wawasan untuk kali ini.

free counters
Catatan: blog ini disertakan label :
Sri , Gutomo, Pawenang, Arjo, Sopuro, Harjosapuro, Suwartini, Hyang, Maha, Kuwasa, Widhi, Sapta, Darma, Kerohanian , warga , wahyu , budi , luhur , sujud , wewarah

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 9)

Mencari "orang tua"

Kebiasaan orang Jawa menjunjung tinggi keberadaan orang yang lebih tua/bepengalaman dalam mengarungi samodra kehidupan. Orang-orang tersebut di"tua"kan sebagai tanda menghormati. Dalam kasus ini, "orang tua" adalah orang yang berilmu, yang memiliki doa ampuh atau ilmu pengetahuan supra natural. Keberadaannya selalu dicari orang yang memerlukannya. Entah untuk memberi nasehat dan wawasan atau transfer ilmu. Kebetulan disana ada dua aliran kebatinan yang menjadi tujuannya.

Aliran kebatinan Murti Tomo Waskito Tunggal (bukan Hardo Pusoro) sebenarnya banyak pengikutnya. Tetapi karena pimpinannya "salah langkah" dengan memberi pengumuman atas kematiannya sendiri, ditinggalkan pengikutnya karena terbukti tidak mati. Tetapi aliran lain (Suwono) masih tetap ada selama apa yang diajarkan dapat diterima masyarakat.

Suwono dari singkatan "suwung" = sesuatu yang kosong atau sesuatu yang tak berisi apa-apa, tak berpenghuni, dan "ono" artinya ada. Dengan kata lain ditempat yang dianggap suwung (tak berpenghuni) itu ada yang menempati. Amat disayangkan bahwa Pak Sastro tidak bisa menjelaskan apa yang dimaksudkannya (yang menempati tempat kosong itu). Semua hal yang diamati dan dirasakan para pengikutnya hanya dijawab "Yo Kuwi" atau "Ya itu". Tanpa penjelasan lain.

Selanjutnya pada setiap pertemuan, pada awal pelajaran, selalu Pak Arjo tak dapat mempraktekkan pelajarannya, tetapi dilain kesempatan, bisa melakukannya. Para mitranya memprediksi bahwa ada yang mengajari. Tetapi siapa, toh tak pernah ada tamu atau kenalan lain dirumah Pak Arjo. Latihan melihat sinar atau cahaya itu dilakukan dalam keadaan mata tertutup, dan dalam ruangan yang digelapkan.Pelaksanaannya dalam samadi. Nama dua belas saudara. Suwono menunjukkan nama kedua belas saudara yang berada dalam badan wadag (jasmani) setiap orang. Tetapi keberadaannya, termasuk tempatnya, asalnya, dan kegunaannya tidak diterangkan. Setiap pertanyaan dijawab dengan "Yo kuwi" atau "Ya itu". Tentu saja jawaban ini kurang memuaskan. Tetapi paling tidak orang mengetahui bahwa badan wadag ini dihuni oleh dua belas "saudara", dengan nama-nama tersebut diatas.

free counters
Catatan: blog ini disertakan label :
Sri , Gutomo, Pawenang, Arjo, Sopuro, Harjosapuro, Suwartini, Hyang, Maha, Kuwasa, Widhi, Sapta, Darma, Kerohanian , warga , wahyu , budi , luhur , sujud , wewarah

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 8)

Persahabatan yang sangat erat.

Setelah selesai perang kemerdekaan (tahun 1949) kehidupan rakyat amat sengsara. Dimana-mana banyak orang kelaparan. Untuk menghadapi keadaan demikian ini, kemitraan adalah hal yang lumrah. Saling membagi rejeki dan tolong menolong adalah kehidupan sehari-hari. Karena itu persahabatan antara Pak Arjo dan mitra lain merupakan hal yang wajar. Karena itu, mitranya dari segala kalangan: pedagang, sopir, kernet, guru dan sebagainya. Tetapi semuanya dari kalangan ekonomi rendah. Yang tidak biasa adalah persahabatan itu demikian erat, seolah masing-masing terikat dalam satu kesatuan tugas yang mereka tidak menyadarinya.

free counters
Catatan: blog ini disertakan label :
Sri , Gutomo, Pawenang, Arjo, Sopuro, Harjosapuro, Suwartini, Hyang, Maha, Kuwasa, Widhi, Sapta, Darma, Kerohanian , warga , wahyu , budi , luhur , sujud , wewarah

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 7)

Kampung Koplakan
Kampung Koplakan berada ditengah kota Pare, berseberangan dengan Pasar Lama. Pada waktu itu, kampung kumuh ini dijejali penghuni dengan mata pencaharian seadanya. Sekarangpun setelah lebih dari 50 tahun, masih terlihat kumuh, belum tertata rapi. Didalam kampung yang kumuh tersebut, sosok pribadi Pak Arjo Sopuro terlihat amat menonjol, terutama sifat keras hati dan jujur dan selalu menepati janji. Pribadi yang bertolak belakang dengan keadaan masyarakat sekelilingnya.

Dulu transportasi dilakukan dengan dokar (kereta ditarik kuda). Walaupun ada mobil angkutan, tetapi masih jarang. Para saudagar perhiasan mas dan berlian dari Kediri, setelah menjajakan dagangannya dengan berkeliling, biasanya pulang ke Kediri tanpa membawa sisa dagangannya, khawatir kemalaman dijalan. Mereka menitipkan sisa dagangannya pada Pak Arjo Sopuro, orang yang dapat dipercaya.

Bedak (lapak) tempat cukur rambut sampai sekarang hampir tak berubah keadaannya. Ditempati putrinya (Mbak Wik) yang berjualan bunga tabur untuk makam. Banyak warga yang menafsirkan sebagai tanda agar warga selalu menebarkan keharuman (nama) dengan perilaku dan budi pekerti yang luhur.

Pak Purboyo, putra bungsu, lahir setelah Pak Arjo menerima wahyu sujud. Karena itu diharapkan dapat menjadi penerus beliau (Pak Arjo). Saat ini tinggal di Jakarta, hanya kadang kala pulang ke Pare.

free counters
Catatan: blog ini disertakan label :
Sri , Gutomo, Pawenang, Arjo, Sopuro, Harjosapuro, Suwartini, Hyang, Maha, Kuwasa, Widhi, Sapta, Darma, Kerohanian , warga , wahyu , budi , luhur , sujud , wewarah

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 6)

Pendahuluan

Banyak orang menyebutkan nama yang salah. Yang benar adalah Arjo Sopuro, bukan Arjo Sepuro, atau Arjo Seputro. Pendidikan hanya sampai klas 3 Sekolah Dasar. Dapat sedikit membaca dan menulis. Mitranya, Pak Kemi, malah tidak pernah bersekolah. Ada yang menulis tahun kelahirannya 1916. Tetapi tak ada catatan atau bukti otentik tentang hal itu.

- - - - - - - -

Berdasar cerita dari keluarga dekat pak Arjo Sopuro.

Orang tua (ayah) pak Arjo berasal dari Aceh. Ketika masih jejaka, dari Aceh pergi ke Solo (Surakarta) karena ada saudaranya yang tinggal di Solo. Suatu hari ingin pergi ke Kediri. Kemudian Di Kediri (Pare) menikah dan dari pernikahan itu lahir bayi laki-laki diberi nama Rohiman. Selanjutnya balik lagi ke Solo untuk mencari kerja, dan dapat pekerjaan di PJKA (Kereta Api). Suatu hari mendapat berita bahwa anaknya (Rohiman) sakit. Dalam perjalanan ke Kediri, singgah dikota Nganjuk mencari obat. Bertemu seorang tua yang mengatakan bahwa anaknya tidak sakit, tetapi sudah meninggal. Tentu saja berita ini sangat mengagetkan dan menyusahkan. Tetapi orang tua tersebut menyuruhnya mencari tolo (sarang tawon) untuk mengurapi (mblonyohi), dan mengatakan jika sembuh agar diganti namanya menjadi Arjo Sopuro yang artinya tetap hidup (Arjo) berkat ampunan (Sopuro= Sepuro=Pangapuro) dari Hyang Maha Kuasa.

Bila cerita ini benar, maka peristiwa "racut" yang akan dialami pada bulan Pebruari 1954 adalah pengalaman "mati" yang kedua kali.

Pak Arjo hanya memiliki satu adik perempuan yang bersuamikan Pak Sani (almarhum)

free counters
Catatan: blog ini disertakan label :
Sri , Gutomo, Pawenang, Arjo, Sopuro, Harjosapuro, Suwartini, Hyang, Maha, Kuwasa, Widhi, Sapta, Darma, Kerohanian , warga , wahyu , budi , luhur , sujud , wewarah

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 5)

Wawasan 1.

Untuk mengawali tulisan ini, memerlukan suasana yang santai dan tenang agar apa yang ditulis optimal. Hanya kebetulan gending tersebut diatas yang diputar. Bukan suatu ketentuan.

Hamba mulai menulis, dimaksudkan bahwa penulis menghambakan diri pada pembaca, agar pembaca memahami bahwa penulis "bukan apa-apa" dan tak memiliki kedudukan yang patut diperhatikan.

Hyang Maha Suci bersemayam didalam diri setiap manusia, memiliki cahaya yang dapat menerangi kehidupan setiap orang. Wayang kulit adalah gambaran wadag (badan jasmani). Setiap gambar mewakili pribadi seseorang. Hyang Maha Suci yang menggerakkannya, walaupun sebenarnya digerakkan oleh ki dalang. Seseorang yang ditinggal Hyang Maha Suci akan kehilangan daya hidup, istilah itu disebutkan bagaikan Gatotkaca kehilangan gapit (penunjang dari tanduk kerbau). "Nglumpruk". Tak berdaya sama sekali.

Hyang Widhi yang memilikinya, diartikan bahwa walaupun Hyang Maha Suci yang menggerakkan, bukan berarti juga yang memiliki. Pemiliknya adalah Hyang Widhi. Sedangkan Hyang Maha Kuwasa penonton sekaligus pemilik rumah dan keseluruhannya. Hyang Maha Kuasa tidak melarang atau menyuruh seseorang untuk berbuat ini-itu. Segala perbuatan manusia akan dibebankan pada Hyang Maha Suci.

Pembaca yang terhormat, ini wawasan yang hamba ketahui, tentu pembaca memiliki wawasan yang lebih luas, silahkan menulis komentar, agar pembaca lain memperoleh manfaatnya.

free counters
Catatan: blog ini disertakan label :
Sri , Gutomo, Pawenang, Arjo, Sopuro, Harjosapuro, Suwartini, Hyang, Maha, Kuwasa, Widhi, Sapta, Darma, Kerohanian , warga , wahyu , budi , luhur , sujud , wewarah

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 4)

Pertanda akan kedatangan wahyu.
Kembali lanjutan ceritera. Pada suatu malam, tatkala pak Arjo tidur dilapaknya, bermimpi didatangi seorang Raja yang memberikan baju kebesaran kerajaan. Keesokan harinya, tergesa-gesa menemui Pak Kemi. “Semalam aku didatangi seorang Raja, yang kemudian memberiku baju kebesaran kerajaan” Mendengar ucapan ini, pak Kemi mengetahui, bahwa itu adalah tanda akan menerima suatu tugas besar dari Hyang Maha Kuasa. Walaupun demikian, mengacu pada pengetahuan yang dimiliki, Pak Kemi tak boleh menjelaskan maknanya karena yang demikian itu mendahului kehendak Tuhan. Oleh sebab itu, pak Kemi kemudian malah tertawa sambil berkata “ Ya begitu mimpinya orang menderita kemiskinan, menginginkan sesuatu yang menyenangkan yang dapat melupakan penderitaannya”. Tetapi dalam hati merasa bahagia mendengar berita ini. Terbersit dalam hati, kapan tiba waktunya peristiwa tersebut. Sekarang tinggal mengamati dan menunggu saatnya saja.


free counters
Catatan: blog ini disertakan label :
Sri , Gutomo, Pawenang, Arjo, Sopuro, Harjosapuro, Suwartini, Hyang, Maha, Kuwasa, Widhi, Sapta, Darma, Kerohanian , warga , wahyu , budi , luhur , sujud , wewarah

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 3)

Hubungan keluarga Pak Arjo Sopuro dan Pak Kemi
Pak Arjo Sopuro, karena sangat menderita kekurangan penghasilan, jarang-jarang pulang kerumahnya, terutama bila pada hari tersebut tidak memperoleh penghasilan. Tidur di lapaknya yang berada di pinggir jalan Koplakan. Diceritakan, dari empat mitra ini yang punya penghasilan cukup hanya Pak Kemi. Karena itu, bila sedang tak ada yang akan dimakan sekeluarga pada hari itu, kadang menyuruh salah satu puteranya meminjam beras pada Pak Kemi. Hubungan Bu Kemi dan Bu Arjo itu sangat erat, melebihi saudara kandung. Tak ada pikiran lain, malah kebetulan masalah pinjam meminjam itu menjadi pengikat persaudaraan. Umur Pak Kemi jauh lebih tua dari Pak Arjo Sopuro. Karena itu Pak Arjo Sopuro menuakan Pak Kemi dengan sebutan kakak Kemi, dan sebaliknya Pak Kemi hanya menyebut Arjo saja, tanpa sebutan apa-apa. Kelak, ketika Pak Arjo sudah dikenal dengan nama Sri Gutomo, Pak Kemi menyapa dengan sebutan Pak Sri atau Mas Arjo, Pak Arjo dengan segera membetulkan dengan mengatakan “Panggil namaku Arjo saja”.

Bapak Sukemi Handini (Pak Kemi)
Tokoh Pak Kemi ini penting, karena selama dua tahun awal peristiwa turunnya wahyu sujud, beliaulah yang selalu dipanggil oleh Pak Arjo untuk menyaksikan setiap kali turun wahyu (perintah) dari Hyang Maha Kuasa. Tatkala teman yang lain sudah berdatangan, tetapi Pak Kemi belum datang, Pak Arjo selalu menyuruh memanggilkan beliau. Karena itu beliau disebut sebagai “paseksen” pertama, yang artinya orang yang menjadi saksi pertama dalam penerimaan wahyu.
Pak Kemi berasal dari Demak, dekat kota Kudus dan Semarang, ibukota Jawa Tengah. Ayahnya bernama Saji Joyo Ulomo. Orang berkecukupan, sawahnya beberapa hektar. Sayang Pak Saji Joyo Ulomo kurang giat dalam pertanian. Siang malam kerjanya hanya mengaji (mendalami Al Qur’an) saja. Oleh karena itu, sedikit demi sedikit sawahnya habis terjual. Anak-anaknya menderita kemiskinan. Pak Kemi sejak muda senang mencari ilmu , belajar ilmu pada guru kebatinan dimana-mana. Tak heran bila memiliki banyak ilmu kebatinan (lebih dari 40 ilmu). Beliau pernah bercerita, pada suatu hari mencari bambu dipinggir hutan untuk dijual. Ketahuan penjaga hutan, kemudian dikejar. Sambil membawa satu lonjor bambu, perjaka Sukemi kemudian melompati sungai yang agak lebar. Selamat, tidak tertangkap karena „ilmu“nya. Bambu kemudian dijual.
Sejak saat itu sadar, bila terus menerus demikian keberadaannya, tentu sengsara hidupnya. Kemudian mempunyai rencana untuk menjadi kernet (pembantu sopir) mobil. Setelah rencana tersebut dilaksanakan, lama kelamaan bisa menjadi sopir mobil. Karena rajin menabung, selanjutnya dapat membeli mobil pribadi, dan tercatat sebagai orang pertama di Pare yang memiliki mobil pribadi. Pada waktu penjajahan Jepang, mobil ini dirampas oleh Jepang.

free counters
Catatan: blog ini disertakan label :
Sri , Gutomo, Pawenang, Arjo, Sopuro, Harjosapuro, Suwartini, Hyang, Maha, Kuwasa, Widhi, Sapta, Darma, Kerohanian , warga , wahyu , budi , luhur , sujud , wewarah

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 2)

Mencari “orang tua”
Karena semua merasakan kekurangan dalam mencari nafkah, pada sekitar tahun 1952 , empat bersaudara (Pak Arjo Sopuro, Pak Kemi, Pak Joyo Jaimun dan Pak Soma Giman) ini bermusyawarah, bagaimana caranya untuk memperoleh hasil yang agak lumayan. Keputusannya, akan mencari ‘orang tua’yang dapat menunjukkan jalan untuk menambah penghasilan.
Pada waktu itu di Pare ada aliran kebatinan yang bernama Murti Tomo Waskito Tunggal yang dipimpin oleh pak Citro. Pengikutnya banyak, lebih lagi dari luar kota Pare. Suatu ketika memberi pengumuman bahwa besok pada hari, tanggal serta jam yang disebutkan , Pak Citro akan kembali ke haribaan Tuhan (wafat). Ratusan orang diangkut puluhan mobil mendatangi rumah Pak Citro pada hari yang disebutkan tadi. Semua bertujuan ingin menyaksikan bahwa ada seseorang yang bisa menentukan hari kematiannya sendiri. Akhirnya semua bubar, Pak Citro ternyata masih hidup sampai beberapa tahun kemudian. Selanjutnya aliran kebatinan Murti Tomo Waskito Tunggal ini sepi, pengikutnya sudah tidak percaya lagi..
Ada aliran kebatinan bernama Suwono (Suwung Ono = Kosong tetapi Ada). Keempat orang ini berencana mendatangi tempatnya. Tujuannya hanya minta sarana, bagaimana cara yang mudah untuk memperoleh penghasilan yang cukup. Ketika datang ditempat ini (Pak Sastro nama pemilik rumah ini. Sebutannya Pak Sastro Suwono) , disitu sudah terhidang empat cangkir berisi minuman kopi panas., padahal tak seorangpun yang memberi tahu bahwa akan bertamu kesana. Ini berarti waspada dalam penglihatan. Karena itu keempat orang ini lebih mantap, ingin berguru dengan tujuan untuk dapat memperbaiki perekonomian sehari-hari.
Pelajaran awal adalah cara mengetahui isi saku tiap orang tanpa memegangnya. Pada tahap ini ada diantaranya yang dapat mempraktekkan . Pak Arjo Sopuro tidak bisa melakukan.

Ditengah jalan, ketika dalam perjalanan pulang, Pak Arjo Sopuro memberi tahu teman-temannya “Kalau hanya seperti itu, aku besok ya bisa melakukannya”.
Pada kesempatan lain, ketika bertamu lagi kerumah Pak Sastro, Pak Arjo Sopuro dapat menebak seluruh isi saku temannya. Di lain waktu, ada latihan melepaskan roh. Caranya, dengan tiduran, kedua tangan diletakkan di dada. Selanjutnya menahan napas. Pikiran diarahkan kebawah pusar, kemudian dibelokkan kekiri. Pak Kemi bisa melaksanakan. Ketika pikiran dari pusar dibelokkan kekiri, terasa seperti jatuh ketanah! Seluruh badan terasa bergetar.
Pada kesempatan itu ternyata Pak Arjo juga tidak bisa melakukannya. Ditengah perjalanan pulang, Pak Arjo Sopuro berkata lagi “Kalau hanya seperti itu, aku besok juga bisa” . Ternyata pada kesempatan berikutnya dapat melaksanakan latihan tersebut .
Kawannya heran. Dalam hati bertanya : “Siapa yang mengajari kok dia bisa melakukan hal itu ?”. Demikian itu dilakukan berkali-kali, setiap ada latihan baru, pada kesempatan berikutnya Pak Arjo Sopuro tentu dapat melakukannya.
Latihan tersebut dilanjutkan sampai selesai. Ada latihan melihat cahaya dalam sanubari. Bila ada yang melihat cahaya, misal cahaya hijau atau cahaya merah dan sebagainya, semua hanya dikomentari oleh Pak Sastro dengan jawaban “Ya itu”. Tanpa ada penjelasannya. Selanjutnya perguruan Suwono menujukkan adanya dua belas saudara: Aku, Roso, Permono, Indro, Bromo, Bayu, Sukmorojo, Sukmonogo, Jatingarang, Mayonggoseto, Bagindokilir. Tetapi tak ada penjelasan tentang saudara dua belas itu, hanya menyebutkan bahwa dalam badan setiap orang didukung dua belas saudara. Oleh karena itu jika ditanyakan, jawaban Pak Sastro hanya “Ya itu”.
Pada waktu akhir latihan Pak Sastro menunjuk Bapak Arjo Sopuro sambil berkata “ Dia kelak yang akan menjadi guru rohani (dalam bahasa Jawa disebut “peguron”).

free counters
Catatan: blog ini disertakan label :
Sri , Gutomo, Pawenang, Arjo, Sopuro, Harjosapuro, Suwartini, Hyang, Maha, Kuwasa, Widhi, Sapta, Darma, Kerohanian , warga , wahyu , budi , luhur , sujud , wewarah

Perjalanan hidup Sri Gutomo (hal 1)

Kamis, 2009 Maret 26


Jakarta 10 September 2008 Rabu Legi jam 22.22

Prakata
Perjalanan hidup Sri Gutomo adalah suatu catatan tentang riwayat hidup Bapak Arjo Sopuro, yang ditulis dari ceritera para mitra terdekatnya. Bukan riwayat Arjo Sopuro, karena yang berkaitan dengan Sapta Darma adalah Sri Gutomo, walaupun kedua nama tersebut sama orangnya

Perjalanan hidup Sri Gutomo.
Diiringi gending ‘Palugangsa dhawah Gdh Widasari’ dilanjutkan Ketawang Subakastawa, hamba mulai menulis. Layaknya cahaya lampu blencong yang menerangi layar pertunjukan wayang kulit, demikianlah karya agung Hyang Maha Suci membuka ceritera perjalanan hidup ini. Wayang kulit sebagai sarananya. Hyang Widhi yang memilikinya. Hyang Maha Kuwasa sebagai penontonnya.

Pendahuluan
Tidak tercatat, kapan Pak Arjo Sopuro mulai bertempat tinggal di kampung Koplakan Kecamatan Pare Kabupaten Kediri Jawa Timur Indonesia. Koplakan itu nama kampung tempat tinggal para pemilik kuda penarik gerobag angkutan (dokar)
Keras hati dan jujur adalah gambaran pribadi Pak Arjo Sopuro. Masih ada lagi, bila tiba saat menepati suatu perjanjian, padahal belum bisa menepati janjinya, tampak sekali sangat kebingungan. Saudagar intan dan berlian di Kediri dan Pare sering menitipkan dagangannya pada Pak Arjo Sopuro karena dapat dipercaya dan selalu menepati janji.

Pada pertengahan abad 20 bekerja sebagai tukang cukur rambut untuk menghidupi isteri, tiga anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Anak pertama bernama Sarjono (almarhum), kemudian Sarjani (almarhum), Surip (putri, disebut mbak Wik) dan Joko. Waktu itu Purboyo, si bungsu, belum lahir. Pada saat ini (pertengahan Maret 2009) hanya tinggal Mbak Wik, Pak Joko dan Pak Purboyo.

Persahabatan yang sangat erat.
Pak Arjo Sopuro memiliki banyak punya mitra yang amat akrab layaknya seperti saudara sendiri yaitu Pak Sukemi Handini (sopir angkutan), Pak Joyo Jaimun (tukang sepatu) tidak berputra, Pak Soma Giman (kernet mobil) berputra 12 orang, laki-laki dan perempuan, Pak Darmo (ipar pak Soma Giman). Pak Reso Kasirin (saudagar kain batik), tidak berputra. Kemudian Pak Danu Miharjo (Mantri Guru SD) dan Pak Jumadi (sopir). Masih banyak teman yang lain, yang belum disebut namanya.
Letak paling dekat adalah rumah Pak Reso Kasirin, kemudian Pak Joyo Jaimun, Pak Jumadi dan kemudian rumah Pak Kemi di kampung Gedangsewu. Rumah Pak Danu di gang Pandan, dekat Koplakan, sedangkan Pak Soma Giman di kampung Plongko, setengah kilometer dari rumah Pak Arjo.
Semua kawan ini adalah orang melarat dengan penghasilan yang tidak menentu. Pekerjaan Pak Arjo sebagai tukang cukur hasilnya sangat sedikit, tak cukup untuk menghidupi keluarganya. Dari ketujuh kawan tersebut Pak Kemi (Sukemi Handini) memiliki penghasilan agak lumayan sebab selain dari pekerjaan sebagai sopir (mobil pribadi telah dirampas Jepang) juga memiliki sawah, walaupun hanya seperlima hektar. Rata-rata semuanya berpenghasilan kecil, tak mencukupi untuk menghidupi keluarganya.

free counters
Catatan: blog ini disertakan label :
Sri , Gutomo, Pawenang, Arjo, Sopuro, Harjosapuro, Suwartini, Hyang, Maha, Kuwasa, Widhi, Sapta, Darma, Kerohanian , warga , wahyu , budi , luhur , sujud , wewarah

Kamis, 26 Maret 2009

WAWASAN 1


Jakarta 10 September 2008 Rabu Legi jam 22.22

Perjalanan hidup Sri Gutomo adalah suatu catatan tentang riwayat hidup Bapak Arjo Sopuro, yang ditulis dari ceritera para mitra terdekatnya. Bukan riwayat Arjo Sopuro, karena yang berkaitan dengan Sapta Darma adalah Sri Gutomo, walaupun kedua nama tersebut sama orangnya

Perjalanan hidup Sri Gutomo.
Diiringi gending ‘Palugangsa dhawah Gdh Widasari’ dilanjutkan Ketawang Subakastawa, hamba mulai menulis. Layaknya cahaya lampu blencong yang menerangi layar pertunjukan wayang kulit, demikianlah karya agung Hyang Maha Suci membuka ceritera perjalanan hidup ini. Wayang kulit sebagai sarananya. Hyang Widhi yang memilikinya. Hyang Maha Kuwasa sebagai penontonnya.

Pendahuluan
Tidak tercatat, kapan Pak Arjo Sopuro mulai bertempat tinggal di kampung Koplakan Kecamatan Pare Kabupaten Kediri Jawa Timur Indonesia. Koplakan itu nama kampung tempat tinggal para pemilik kuda penarik gerobag angkutan (dokar)
Keras hati dan jujur adalah gambaran pribadi Pak Arjo Sopuro. Masih ada lagi, bila tiba saat menepati suatu perjanjian, padahal belum bisa menepati janjinya, tampak sekali sangat kebingungan. Saudagar intan dan berlian di Kediri dan Pare sering menitipkan dagangannya pada Pak Arjo Sopuro karena dapat dipercaya dan selalu menepati janji.

Pada pertengahan abad 20 bekerja sebagai tukang cukur rambut untuk menghidupi isteri, tiga anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Anak pertama bernama Sarjono (almarhum), kemudian Sarjani (almarhum), Surip (putri, disebut mbak Wik) dan Joko. Waktu itu Purboyo, si bungsu, belum lahir. Pada saat ini (pertengahan Maret 2009) hanya tinggal Mbak Wik, Pak Joko dan Pak Purboyo.

Persahabatan yang sangat erat.
Pak Arjo Sopuro memiliki banyak punya mitra yang amat akrab layaknya seperti saudara sendiri yaitu Pak Sukemi Handini (sopir angkutan), Pak Joyo Jaimun (tukang sepatu) tidak berputra, Pak Soma Giman (kernet mobil) berputra 12 orang, laki-laki dan perempuan, Pak Darmo (ipar pak Soma Giman). Pak Reso Kasirin (saudagar kain batik), tidak berputra. Kemudian Pak Danu Miharjo (Mantri Guru SD) dan Pak Jumadi (sopir). Masih banyak teman yang lain, yang belum disebut namanya.

Letak paling dekat adalah rumah Pak Reso Kasirin, kemudian Pak Joyo Jaimun, Pak Jumadi dan kemudian rumah Pak Kemi di kampung Gedangsewu. Rumah Pak Danu di gang Pandan, dekat Koplakan, sedangkan Pak Soma Giman di kampung Plongko, setengah kilometer dari rumah Pak Arjo.
Semua kawan ini adalah orang melarat dengan penghasilan yang tidak menentu. Pekerjaan Pak Arjo sebagai tukang cukur hasilnya sangat sedikit, tak cukup untuk menghidupi keluarganya. Dari ketujuh kawan tersebut Pak Kemi (Sukemi Handini) memiliki penghasilan agak lumayan sebab selain dari pekerjaan sebagai sopir (mobil pribadi telah dirampas Jepang) juga memiliki sawah, walaupun hanya seperlima hektar. Rata-rata semuanya berpenghasilan kecil, tak mencukupi untuk menghidupi keluarganya.

Mencari “orang tua”
Karena semua merasakan kekurangan dalam mencari nafkah, pada sekitar tahun 1952 , empat bersaudara (Pak Arjo Sopuro, Pak Kemi, Pak Joyo Jaimun dan Pak Soma Giman) ini bermusyawarah, bagaimana caranya untuk memperoleh hasil yang agak lumayan. Keputusannya, akan mencari ‘orang tua’yang dapat menunjukkan jalan untuk menambah penghasilan.
Pada waktu itu di Pare ada aliran kebatinan yang bernama Murti Tomo Waskito Tunggal yang dipimpin oleh pak Citro. Pengikutnya banyak, lebih lagi dari luar kota Pare. Suatu ketika memberi pengumuman bahwa besok pada hari, tanggal serta jam yang disebutkan , Pak Citro akan kembali ke haribaan Tuhan (wafat). Ratusan orang diangkut puluhan mobil mendatangi rumah Pak Citro pada hari yang disebutkan tadi. Semua bertujuan ingin menyaksikan bahwa ada seseorang yang bisa menentukan hari kematiannya sendiri. Akhirnya semua bubar, Pak Citro ternyata masih hidup sampai beberapa tahun kemudian. Selanjutnya aliran kebatinan Murti Tomo Waskito Tunggal ini sepi, pengikutnya sudah tidak percaya lagi..
Ada aliran kebatinan bernama Suwono (Suwung Ono = Kosong tetapi Ada). Keempat orang ini berencana mendatangi tempatnya. Tujuannya hanya minta sarana, bagaimana cara yang mudah untuk memperoleh penghasilan yang cukup. Ketika datang ditempat ini (Pak Sastro nama pemilik rumah ini. Sebutannya Pak Sastro Suwono) , disitu sudah terhidang empat cangkir berisi minuman kopi panas., padahal tak seorangpun yang memberi tahu bahwa akan bertamu kesana. Ini berarti waspada dalam penglihatan. Karena itu keempat orang ini lebih mantap, ingin berguru dengan tujuan untuk dapat memperbaiki perekonomian sehari-hari.
Pelajaran awal adalah cara mengetahui isi saku tiap orang tanpa memegangnya. Pada tahap ini ada diantaranya yang dapat mempraktekkan . Pak Arjo Sopuro tidak bisa melakukan.

Ditengah jalan, ketika dalam perjalanan pulang, Pak Arjo Sopuro memberi tahu teman-temannya “Kalau hanya seperti itu, aku besok ya bisa melakukannya”.
Pada kesempatan lain, ketika bertamu lagi kerumah Pak Sastro, Pak Arjo Sopuro dapat menebak seluruh isi saku temannya. Di lain waktu, ada latihan melepaskan roh. Caranya, dengan tiduran, kedua tangan diletakkan di dada. Selanjutnya menahan napas. Pikiran diarahkan kebawah pusar, kemudian dibelokkan kekiri. Pak Kemi bisa melaksanakan. Ketika pikiran dari pusar dibelokkan kekiri, terasa seperti jatuh ketanah! Seluruh badan terasa bergetar.
Pada kesempatan itu ternyata Pak Arjo juga tidak bisa melakukannya. Ditengah perjalanan pulang, Pak Arjo Sopuro berkata lagi “Kalau hanya seperti itu, aku besok juga bisa” . Ternyata pada kesempatan berikutnya dapat melaksanakan latihan tersebut .
Kawannya heran. Dalam hati bertanya : “Siapa yang mengajari kok dia bisa melakukan hal itu ?”. Demikian itu dilakukan berkali-kali, setiap ada latihan baru, pada kesempatan berikutnya Pak Arjo Sopuro tentu dapat melakukannya.
Latihan tersebut dilanjutkan sampai selesai. Ada latihan melihat cahaya dalam sanubari. Bila ada yang melihat cahaya, misal cahaya hijau atau cahaya merah dan sebagainya, semua hanya dikomentari oleh Pak Sastro dengan jawaban “Ya itu”. Tanpa ada penjelasannya. Selanjutnya perguruan Suwono menujukkan adanya dua belas saudara: Aku, Roso, Permono, Indro, Bromo, Bayu, Sukmorojo, Sukmonogo, Jatingarang, Mayonggoseto, Bagindokilir. Tetapi tak ada penjelasan tentang saudara dua belas itu, hanya menyebutkan bahwa dalam badan setiap orang didukung dua belas saudara. Oleh karena itu jika ditanyakan, jawaban Pak Sastro hanya “Ya itu”.

Pada waktu akhir latihan Pak Sastro menunjuk Bapak Arjo Sopuro sambil berkata “ Dia kelak yang akan menjadi guru rohani (dalam bahasa Jawa disebut “peguron”).

Hubungan keluarga Pak Arjo Sopuro dan Pak Kemi
Pak Arjo Sopuro, karena sangat menderita kekurangan penghasilan, jarang-jarang pulang kerumahnya, terutama bila pada hari tersebut tidak memperoleh penghasilan. Tidur di lapaknya yang berada di pinggir jalan Koplakan. Diceritakan, dari empat mitra ini yang punya penghasilan cukup hanya Pak Kemi. Karena itu, bila sedang tak ada yang akan dimakan sekeluarga pada hari itu, kadang menyuruh salah satu puteranya meminjam beras pada Pak Kemi. Hubungan Bu Kemi dan Bu Arjo itu sangat erat, melebihi saudara kandung. Tak ada pikiran lain, malah kebetulan masalah pinjam meminjam itu menjadi pengikat persaudaraan. Umur Pak Kemi jauh lebih tua dari Pak Arjo Sopuro. Karena itu Pak Arjo Sopuro menuakan Pak Kemi dengan sebutan kakak Kemi, dan sebaliknya Pak Kemi hanya menyebut Arjo saja, tanpa sebutan apa-apa. Kelak, ketika Pak Arjo sudah dikenal dengan nama Sri Gutomo, Pak Kemi menyapa dengan sebutan Pak Sri atau Mas Arjo, Pak Arjo dengan segera membetulkan dengan mengatakan “Panggil namaku Arjo saja”.

Bapak Sukemi Handini (Pak Kemi)
Tokoh Pak Kemi ini penting, karena selama dua tahun awal peristiwa turunnya wahyu sujud, beliaulah yang selalu dipanggil oleh Pak Arjo untuk menyaksikan setiap kali turun wahyu (perintah) dari Hyang Maha Kuasa. Tatkala teman yang lain sudah berdatangan, tetapi Pak Kemi belum datang, Pak Arjo selalu menyuruh memanggilkan beliau. Karena itu beliau disebut sebagai “paseksen” pertama, yang artinya orang yang menjadi saksi pertama dalam penerimaan wahyu.
Pak Kemi berasal dari Demak, dekat kota Kudus dan Semarang, ibukota Jawa Tengah. Ayahnya bernama Saji Joyo Ulomo. Orang berkecukupan, sawahnya beberapa hektar. Sayang Pak Saji Joyo Ulomo kurang giat dalam pertanian. Siang malam kerjanya hanya mengaji (mendalami Al Qur’an) saja. Oleh karena itu, sedikit demi sedikit sawahnya habis terjual. Anak-anaknya menderita kemiskinan. Pak Kemi sejak muda senang mencari ilmu , belajar ilmu pada guru kebatinan dimana-mana. Tak heran bila memiliki banyak ilmu kebatinan (lebih dari 40 ilmu). Beliau pernah bercerita, pada suatu hari mencari bambu dipinggir hutan untuk dijual. Ketahuan penjaga hutan, kemudian dikejar. Sambil membawa satu lonjor bambu, perjaka Sukemi kemudian melompati sungai yang agak lebar. Selamat, tidak tertangkap karena „ilmu“nya. Bambu kemudian dijual.
Sejak saat itu sadar, bila terus menerus demikian keberadaannya, tentu sengsara hidupnya. Kemudian mempunyai rencana untuk menjadi kernet (pembantu sopir) mobil. Setelah rencana tersebut dilaksanakan, lama kelamaan bisa menjadi sopir mobil. Karena rajin menabung, selanjutnya dapat membeli mobil pribadi, dan tercatat sebagai orang pertama di Pare yang memiliki mobil pribadi. Pada waktu penjajahan Jepang, mobil ini dirampas oleh Jepang.

Pertanda akan kedatangan wahyu.
Kembali lanjutan ceritera. Pada suatu malam, tatkala pak Arjo tidur dilapaknya, bermimpi didatangi seorang Raja yang memberikan baju kebesaran kerajaan. Keesokan harinya, tergesa-gesa menemui Pak Kemi. “Semalam aku didatangi seorang Raja, yang kemudian memberiku baju kebesaran kerajaan” Mendengar ucapan ini, pak Kemi mengetahui, bahwa itu adalah tanda akan menerima suatu tugas besar dari Hyang Maha Kuasa. Walaupun demikian, mengacu pada pengetahuan yang dimiliki, Pak Kemi tak boleh menjelaskan maknanya karena yang demikian itu mendahului kehendak Tuhan. Oleh sebab itu, pak Kemi kemudian malah tertawa sambil berkata “ Ya begitu mimpinya orang menderita kemiskinan, menginginkan sesuatu yang menyenangkan yang dapat melupakan penderitaannya”. Tetapi dalam hati merasa bahagia mendengar berita ini. Terbersit dalam hati, kapan tiba waktunya peristiwa tersebut. Sekarang tinggal mengamati dan menunggu saatnya saja.

Wawasan 1.

Untuk mengawali tulisan ini, memerlukan suasana yang santai dan tenang agar apa yang ditulis optimal. Hanya kebetulan gending tersebut diatas yang diputar. Bukan suatu ketentuan.

Hamba mulai menulis, dimaksudkan bahwa penulis menghambakan diri pada pembaca, agar pembaca memahami bahwa penulis "bukan apa-apa" dan tak memiliki kedudukan yang patut diperhatikan.

Hyang Maha Suci bersemayam didalam diri setiap manusia, memiliki cahaya yang dapat menerangi kehidupan setiap orang. Wayang kulit adalah gambaran wadag (badan jasmani). Setiap gambar mewakili pribadi seseorang. Hyang Maha Suci yang menggerakkannya, walaupun sebenarnya digerakkan oleh ki dalang. Seseorang yang ditinggal Hyang Maha Suci akan kehilangan daya hidup, istilah itu disebutkan bagaikan Gatotkaca kehilangan gapit (penunjang dari tanduk kerbau). "Nglumpruk". Tak berdaya sama sekali.

Hyang Widhi yang memilikinya, diartikan bahwa walaupun Hyang Maha Suci yang menggerakkan, bukan berarti juga yang memiliki. Pemiliknya adalah Hyang Widhi. Sedangkan Hyang Maha Kuwasa penonton sekaligus pemilik rumah dan keseluruhannya. Hyang Maha Kuasa tidak melarang atau menyuruh seseorang untuk berbuat ini-itu. Segala perbuatan manusia akan dibebankan pada Hyang Maha Suci.

Pembaca yang terhormat, ini wawasan yang hamba ketahui, tentu pembaca memiliki wawasan yang lebih luas, silahkan menulis komentar, agar pembaca lain memperoleh manfaatnya.

Pendahuluan

Banyak orang menyebutkan nama yang salah. Yang benar adalah Arjo Sopuro, bukan Arjo Sepuro, atau Arjo Seputro. Pendidikan hanya sampai klas 3 Sekolah Dasar. Dapat sedikit membaca dan menulis. Mitranya, Pak Kemi, malah tidak pernah bersekolah. Ada yang menulis tahun kelahirannya 1916. Tetapi tak ada catatan atau bukti otentik tentang hal itu.

- - - - - - - -

Berdasar cerita dari keluarga dekat pak Arjo Sopuro.

Orang tua (ayah) pak Arjo berasal dari Aceh. Ketika masih jejaka, dari Aceh pergi ke Solo (Surakarta) karena ada saudaranya yang tinggal di Solo. Suatu hari ingin pergi ke Kediri. Kemudian Di Kediri (Pare) ketemu jodoh, dan menikah dengan wanita dan lahir bayi laki-laki diberi nama Rohiman. Selanjutnya balik lagi ke Solo untuk mencari kerja, dan dapat pekerjaan di PJKA (Kereta Api). Suatu hari mendapat berita bahwa anaknya (Rohiman) sakit. Dalam perjalanan ke Kediri, singgah dikota Nganjuk mencari obat. Bertemu seorang tua yang mengatakan bahwa anaknya tidak sakit, tetapi sudah meninggal. Tentu saja berita ini sangat mengagetkan dan menyusahkan. Tetapi orang tua tersebut menyuruhnya mencari tolo (sarang tawon) untuk mengurapi (mblonyohi), dan mengatakan jika sembuh agar diganti namanya menjadi Arjo Sopuro yang artinya tetap hidup (Arjo) berkat ampunan (Sopuro= Sepuro=Pangapuro) dari Hyang Maha Kuasa.

Bila cerita ini benar, maka peristiwa "racut" yang akan dialami pada bulan Pebruari 1954 adalah pengalaman "mati" yang kedua kali.

Pak Arjo hanya memiliki satu adik perempuan yang bersuamikan Pak Sani (almarhum)

- - - - - - - - - -

Kampung Koplakan berada ditengah kota Pare, berseberangan dengan Pasar Lama. Pada waktu itu, kampung kumuh ini dijejali penghuni dengan mata pencaharian seadanya. Sekarangpun setelah lebih dari 50 tahun, masih terlihat kumuh, belum tertata rapi. Didalam kampung yang kumuh tersebut, sosok pribadi Pak Arjo Sopuro terlihat amat menonjol, terutama sifat keras hati dan jujur dan selalu menepati janji. Pribadi yang bertolak belakang dengan keadaan masyarakat sekelilingnya.

Dulu transportasi dilakukan dengan dokar (kereta ditarik kuda). Walaupun ada mobil angkutan, tetapi masih jarang. Para saudagar perhiasan mas dan berlian dari Kediri, setelah menjajakan dagangannya dengan berkeliling, biasanya pulang ke Kediri tanpa membawa sisa dagangannya, khawatir kemalaman dijalan. Mereka menitipkan sisa dagangannya pada Pak Arjo Sopuro, orang yang dapat dipercaya.

Bedak (lapak) tempat cukur rambut sampai sekarang hampir tak berubah keadaannya. Ditempati putrinya (Mbak Wik) yang berjualan bunga tabur untuk makam. Banyak warga yang menafsirkan sebagai tanda agar warga selalu menebarkan keharuman (nama) dengan perilaku dan budi pekerti yang luhur.

Pak Purboyo, putra bungsu, lahir setelah Pak Arjo menerima wahyu sujud. Karena itu diharapkan dapat menjadi penerus beliau (Pak Arjo). Saat ini tinggal di Jakarta, hanya kadang kala pulang ke Pare.

Persahabatan yang sangat erat.

Setelah selesai perang kemerdekaan (tahun 1949) kehidupan rakyat amat sengsara. Dimana-mana banyak orang kelaparan. Untuk menghadapi keadaan demikian ini, kemitraan adalah hal yang lumrah. Saling membagi rejeki dan tolong menolong adalah kehidupan sehari-hari. Karena itu persahabatan antara Pak Arjo dan mitra lain merupakan hal yang wajar. Karena itu, mitranya dari segala kalangan: pedagang, sopir, kernet, guru dan sebagainya. Tetapi semuanya dari kalangan ekonomi rendah. Yang tidak biasa adalah persahabatan itu demikian erat, seolah masing-masing terikat dalam satu kesatuan tugas yang mereka tidak menyadarinya.

Mencari "orang tua"

Kebiasaan orang Jawa menjunjung tinggi keberadaan orang yang lebih senior dalam mengarungi samodra kehidupan. Orang-orang tersebut di"tua"kan sebagai tanda menghormati. Dalam kasus ini, "orang tua" adalah orang yang berilmu, yang memiliki doa ampuh atau ilmu pengetahuan supra natural. Keberadaannya selalu dicari orang yang memerlukannya. Entah untuk memberi nasehat dan wawasan atau transfer ilmu. Kebetulan disana ada dua aliran kebatinan yang menjadi tujuannya.

Aliran kebatinan Murti Tomo Waskito Tunggal (bukan Hardo Pusoro) sebenarnya banyak pengikutnya. Tetapi karena pimpinannya "salah langkah" dengan memberi pengumuman atas kematiannya sendiri, ditinggalkan pengikutnya karena terbukti tidak mati. Tetapi aliran lain (Suwono) masih tetap ada selama apa yang diajarkan dapat diterima masyarakat.

Suwono dari singkatan "suwung" = sesuatu yang kosong atau sesuatu yang tak berisi apa-apa, tak berpenghuni, dan "ono" artinya ada. Dengan kata lain ditempat yang dianggap suwung (tak berpenghuni) itu ada yang menempati. Amat disayangkan bahwa Pak Sastro tidak bisa menjelaskan apa yang dimaksudkannya (yang menempati tempat kosong itu). Semua hal yang diamati dan dirasakan para pengikutnya hanya dijawab "Yo Kuwi" atau "Ya itu". Tanpa penjelasan lain.

Selanjutnya pada setiap pertemuan, pada awal pelajaran, selalu Pak Arjo tak dapat mempraktekkan pelajarannya, tetapi dilain kesempatan, bisa melakukannya. Para mitranya memprediksi bahwa ada yang mengajari. Tetapi siapa, toh tak pernah ada tamu atau kenalan lain dirumah Pak Arjo. Latihan melihat sinar atau cahaya itu dilakukan dalam keadaan mata tertutup, dan dalam ruangan yang digelapkan.Pelaksanaannya dalam samadi. Nama dua belas saudara. Suwono menunjukkan nama kedua belas saudara yang berada dalam badan wadag (jasmani) setiap orang. Tetapi keberadaannya, termasuk tempatnya, asalnya, dan kegunaannya tidak diterangkan. Setiap pertanyaan dijawab dengan "Yo kuwi" atau "Ya itu". Tentu saja jawaban ini kurang memuaskan. Tetapi paling tidak orang mengetahui bahwa badan wadag ini dihuni oleh dua belas "saudara", dengan nama-nama tersebut diatas.

Ramalan.

Bahwa pak Sastro menunjuk Pak Arjo akan menjadi guru rohani, bukan berdasar ramalan, tetapi berdasar sifat dan kepribadian Pak Arjo yang patut untuk menjadi guru rohani.

Hubungan keluarga Pak Arjo Sopuro dan Pak Kemi.

Menurut penuturan, memang antara Pak Arjo dan Pak Kemi itu seperti ada ikatan batin yang sangat erat. Masing-masing seperti tahu apa yang telah dan akan dilakukan dalam kehidupannya. Karena itu tak heran bila hubungan kedua keluarga itu seperti saudara sendiri.

Bapak Sukemi Handini (Pak Kemi)Pak Kemi ini sebagai saksi pertama turunnya wahyu, dan juga ikut menyaksikan wafatnya Pak Arjo pada tahun 1964. Menurut catatan lahir pada waktu gunung Kelud meletus tahun 1901 dan wafat tahun 1993 dirumahnya dusun Gedang Sewu. Disebut Gedang Sewu karena lahannya dipenuhi pohon pisang. Pak Diman, yang pertama kali menggambar simbol Sapta Darma adalah keponakan Pak Kemi. (Sekitar tahun 2000 Pak Diman masih hidup). Sampai akhir hayat, Pak Kemi tetap menjalankan sujud, dan menjadi tempat bertanya dan memberi saran pengobatan orang-orang, terutama penduduk kecamatan Kepung, dua belas kilometer dari Pare, dikaki gunung Kelud. Tidak pikun, dan ingat semua kejadian yang telah dialami, termasuk awal penerimaan wahyu. Beliau selalu berpesan untuk tidak mendiskusikan apa yang dilihat dan diamati pada waktu sujud, karena itu akan memendekkan umur. Demikian wawasan untuk kali ini.

Peristiwa kedatangan wahyu.
Tanggal 26 Desember 1952.
Masih pagi Pak Arjo sudah berada dirumah Pak Kemi di desa Gedang Sewu Pare. Sekitar jam 9.00 pagi, Pak Arjo berkata pada Pak Kemi: “Kakak, aku mau pulang sekarang, akan mendapat pelajaran dari Guru” Mendengar perkataan ini Pak Kemi merasa heran, dalam hati bertanya-tanya “Siapa Gurunya Arjo itu”
- - - - - - - - -
Mohon maaf sebelumnya untuk para pembaca., saya akan menulis saat kejatuhan wahyu, hanya sekedar mengulang ceritera saja, tentu akan banyak kesalahannya, karena tidak turut hadir pada saat kejadian yang sebenarnya. (Umurku baru 9 tahun tatkala itu, dan jaraknya 50 Km dari rumah orang tuaku)
Para saksi, kalau ada yang masih hidup, mohon untuk membetulkan penuturan ini.
- - - - - - - - -
Malam itu (26 Desember 1952) Pak Arjo sedang duduk bersender disalah satu tiang pada dinding rumahnya menghadap ke Barat.
Tak ada yang mengetahui awal mulanya, sekitar jam satu malam, tiba-tiba kedua lengan tangan seolah dipaksa bersikap sedakep, tangan kanan menutupi tangan kiri, begitu pula kedua kaki dipaksa bersila dengan kaki kanan menutupi kaki kiri.
Selanjutnya badan diputar menghadap kearah Timur. Kemudian mulut mengucapkan kalimat :”Allah Hyang Moho Agung, Allah Hyang Moho Rochim, Alah Hyang Moho Adil, Allah Hyang Moho Wasesa, Allah Hyang Moho Langgeng". Kata-kata ini diucapkan dengan keras, spontan dan tak dapat ditahan-tahan.
Setelah selesai, tubuh Pak Arjo menunduk kebawah sampai kening dan hidung menempel dilantai (sujud). Sujud ini berlangsung tiga kali. Sujud pertama, ketika kening dan hidung menempel dilantai, mulutnya mengucapkan “Hyang Moho Suci sujud Hyang Moho Kuwoso” Kalimat itu diulang tiga kali.
Sujud kedua, seperti diatas dengan ucapan “Kesalahane Hyang Moho Suci nyuwun ngapuro Hyang Moho Kuwoso” Juga diulang tiga kali.
Sujud ketiga, ucapan “Hyang Moho Suci Mertobat Hyang Moho Kuwoso”. Ucapan ini diulang tiga kali pula.
Gerak sujud ini tak dapat ditahan atau dibatalkan. Padahal berlangsung mulai sekitar jam satu tengah malam sampai dengan pukul 3.30 pagi, (ayam jago berkokok pagi hari). Setiap kali gerak sujud ini diulang kembali mulai dari awal. Tak dapat dihentikan. Pak Arjo dipaksa melakukannya sampai sangat kepayahan.

- - - - - - -
Pagi itu, diliputi rasa takut yang amat sangat, Pak Arjo segera pergi kerumah Pak Kemi, dengan tujuan akan menceriterakan kejadian yang telah dialaminya, mungkin Pak Kemi dapat memberi penjelasan tentang hal ini, sebab Pak Kemi memiliki pengetahuan luas karena sudah pernah berguru empat puluh kali. Harapannya Pak Kemi dapat menerangkan kejadian ini.
Sesampainya dirumah Pak Kemi, bertemu Pak Kemi sendiri. Belum sampai selesai bercerita tentang kejadian semalam, tubuh Pak Kemi tiba-tiba bergerak melakukan sujud menghadap ke Timur, dan mengucapkan kata-kata seperti yang terjadi dengan Pak Arjo semalam.
Merasakan gerakan disertai getaran yang demikian dahsyat, Pak Kemi tak dapat berkomentar apapun. Kaget dan takjub disertai rasa takut. Setelah istirahat beberapa saat, baru dapat saling berbicara. Kemudian Pak Arjo melanjutkan ceritera tentang apa yang dialaminya semalam. Selanjutnya diambil keputusan untuk bersama mendatangi rumah Pak Joyo Jaimun.
Disana, dirumah Pak Joyo Jaimun, kejadian tersebut terulang kembali. Begitu pula ketika mereka bertiga pergi kerumah pak Soma Giman. Untuk selanjutnya, keempat orang tersebut sepakat untuk melakukan sujud ini dirumah masing-masing. Hanya Pak Arjo , bila malam telah tiba, tidak berani tidur di rumahnya sendiri., merasa takut bila nanti ada gerakan lagi. Karena itu, keempat orang tersebut, bila malam telah tiba, bergantian tidur bersama-sama. Terkadang di rumah Pak Kemi, dirumah Pak Joyo Jaimun , Pak Soma Giman atau dirumah Pak Arjo sendiri di kampung Koplakan itu.


Kampung Koplakan.
Pada tahun 1952 (turunnya wahyu), kampung Koplakan telah terkenal sebagai tempat kumuh, tempat mangkal para preman yang melakukan berbagai kejahatan. Bila ada pencopet atau pencuri yang ketahuan dan kemudian dikejar orang, arah larinya pasti ke Koplakan. Kalau sudah sampai disana, bersembunyi, dan tak bisa ditemukan, karena disembunyikan oleh orang-orang disana. Dikampung Koplakan ini pula tempat orang melakukan permainan Ni Diwud (Jaelangkung), minum minuman keras, bermabuk-mabukan, orang berjudi dan sebagainya.. Karena itu, penduduk kecamatan Pare menjauhi kampung Koplakan ini , khawatir bila nanti terbawa oleh kelakuan para penghuni disitu.
Para sahabat.
Setelah terjadi peristiwa kedatangan wahyu, para sahabat dan mereka yang kenal dengan Pak Arjo, bersama-sama ingin menyaksikan kejadian tersebut, dan kemudian melakukan sujud seperti Pak Arjo. Ternyata gerak tubuh itu tidak terbatas pada sujud saja. Ketika Pak Joyo Jaimun berkata “Aku ingin mengetahui gerak tubuh Sukmo Nogo (Sukma Ular Naga)”, seketika itu pula badannya terbanting kemudian bergeliat-geliat seperti pergerakan ular. Begitu pula tatkala berkata ingin mengetahui gerak Mayonggo Seto (Kera Putih), saat itu pula berceloteh seperti kera dan meloncat-loncat kesana kemari. Latihan ini dilakukan pada malam hari. Terkadang ada suara auman layaknya auman singa, suara kaki berdebugan seperti latihan bela diri dan sebagainya.
Rumah Pak Arjo berdinding gedeg (anyaman bambu) yang berlubang-lubang. Para tetangga sering mengintip dari celah-celah dinding anyaman bambu itu. Salah seorang , ketika sedang asyik mengintip, matanya disengat kalajengking, kemudian berteriak-teriak. Pak Arjo mendekat. Setelah diusap dengan tangan, hilang sakitnya. Selanjutnya ada orang lain yang sakit, dapat disembuhkan pula. Lama kelamaan, banyak orang sakit berdatangan ketempat ini. Semuanya dapat disembuhkan. Karena itu kemudian tersebar berita bahwa ada dukun baru di kampung Koplakan Pare.

Kesaksian para pengikut kebatinan.
Pada waktu itu banyak pengikut kebatinan yang mendapat firasat bahwa akan terjadi peristiwa kedatangan wahyu besar Orang mengatakan "pulung agung". Karena itu, sebagian besar melakukan ritual mengurangi tidur dimalam hari dan bersemadi ditempat tertentu. Ada beberapa orang melihat dengan mata batin, suatu cahaya besar jatuh menuju kampung Koplakan Pare diikuti dengan suara bergemuruh, dalam sanubari. Benar atau tidak, hamba tidak dapat memberi komentar.
Catatan
Para sahabat Pak Arjo yang telah menjalani sujud, ada yang tetap melakukan sujud sampai akhir hayat. Tetapi banyak pula yang hanya ingin mengetahui ajaran ini, selanjutnya tidak melakukan sujud lagi. Hal tersebut terserah pada pribadi masing-masing. Dari kalangan putri, Ibu Sukemi adalah wanita pertama yang melakukan sujud.Dan tetap melakukan sujud sampai akhir hayat (tahun 2000). Ibu Arjo Sopuro malah belakangan baru sujud.

Wawasan 2

Peristiwa kedatangan wahyu.

Disebutkan bahwa wahyu datang secara tiba-tiba. Tetapi bukan berarti sama sekali tak ada tanda-tanda yang mengawalinya. Setelah merenung dan mengingat ingat, ternyata memang tanda-tanda kedatangan wahyu itu ada, tetapi luput dari pengamatan. Jika mengingat bahwa pada Kamis Pon 26 Desember 1952 sekitar jam 09.00 pagi itu Pak Arjo memberitahu Pak Kemi bahwa ada perintah dari "guru"nya untuk pulang karena akan di"wejang guru", dapat disimpulkan bahwa saat itulah awal kedatangan wahyu tersebut.

Proses tersebut berlangsung terus dengan puncaknya terjadi pada jam 01.00 malam hari sampai jam 03.30. Belum berakhir sampai disitu, sebab mitranya: Pak Kemi dan Pak Joyo Jaimun juga merasakan getaran dan gerakan luar biasa tersebut sampai jam 09.00 pagi. Maka proses kedatangan wahyu sujud ini mulai jam 09.00 pagi tanggal 26 Desember 1952 sampai dengan jam 09.00 tanggal 27 Desember 1952.

- - - - - - -

Penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya pada pembaca, terutama para warga Kerohanian Sapta Darma, karena tanpa perkenan telah menulis proses kedatangan wahyu, yang mungkin berbeda dengan apa yang selama ini telah diketahui para Warga. Ada versi yang mengatakan bahwa orang pertama yang diberitahu tentang kejadian luar biasa ini adalah Pak Joyo Jaimun, mengingat rumahnya paling dekat dengan rumah Pak Arjo. Ada pula yang menulis bahwa Pak Soma Gimanlah yang pertama dituju, dengan catatan Pak Soma Giman orang yang memiliki banyak ilmu. Penulis hanya mencatat, bahwa Pak Kemi sampai akhir hayat (tahun 1993) tetap melakukan sujud sebagai cara untuk menyembah Hyang Maha Kuwasa. Beliaupun tak pernah mempermasalahkan, siapa yang pertama kali didatangi Pak Arjo ketika menerima wahyu tersebut.



free counters