Kamis, 26 Maret 2009

WAWASAN 1


Jakarta 10 September 2008 Rabu Legi jam 22.22

Perjalanan hidup Sri Gutomo adalah suatu catatan tentang riwayat hidup Bapak Arjo Sopuro, yang ditulis dari ceritera para mitra terdekatnya. Bukan riwayat Arjo Sopuro, karena yang berkaitan dengan Sapta Darma adalah Sri Gutomo, walaupun kedua nama tersebut sama orangnya

Perjalanan hidup Sri Gutomo.
Diiringi gending ‘Palugangsa dhawah Gdh Widasari’ dilanjutkan Ketawang Subakastawa, hamba mulai menulis. Layaknya cahaya lampu blencong yang menerangi layar pertunjukan wayang kulit, demikianlah karya agung Hyang Maha Suci membuka ceritera perjalanan hidup ini. Wayang kulit sebagai sarananya. Hyang Widhi yang memilikinya. Hyang Maha Kuwasa sebagai penontonnya.

Pendahuluan
Tidak tercatat, kapan Pak Arjo Sopuro mulai bertempat tinggal di kampung Koplakan Kecamatan Pare Kabupaten Kediri Jawa Timur Indonesia. Koplakan itu nama kampung tempat tinggal para pemilik kuda penarik gerobag angkutan (dokar)
Keras hati dan jujur adalah gambaran pribadi Pak Arjo Sopuro. Masih ada lagi, bila tiba saat menepati suatu perjanjian, padahal belum bisa menepati janjinya, tampak sekali sangat kebingungan. Saudagar intan dan berlian di Kediri dan Pare sering menitipkan dagangannya pada Pak Arjo Sopuro karena dapat dipercaya dan selalu menepati janji.

Pada pertengahan abad 20 bekerja sebagai tukang cukur rambut untuk menghidupi isteri, tiga anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Anak pertama bernama Sarjono (almarhum), kemudian Sarjani (almarhum), Surip (putri, disebut mbak Wik) dan Joko. Waktu itu Purboyo, si bungsu, belum lahir. Pada saat ini (pertengahan Maret 2009) hanya tinggal Mbak Wik, Pak Joko dan Pak Purboyo.

Persahabatan yang sangat erat.
Pak Arjo Sopuro memiliki banyak punya mitra yang amat akrab layaknya seperti saudara sendiri yaitu Pak Sukemi Handini (sopir angkutan), Pak Joyo Jaimun (tukang sepatu) tidak berputra, Pak Soma Giman (kernet mobil) berputra 12 orang, laki-laki dan perempuan, Pak Darmo (ipar pak Soma Giman). Pak Reso Kasirin (saudagar kain batik), tidak berputra. Kemudian Pak Danu Miharjo (Mantri Guru SD) dan Pak Jumadi (sopir). Masih banyak teman yang lain, yang belum disebut namanya.

Letak paling dekat adalah rumah Pak Reso Kasirin, kemudian Pak Joyo Jaimun, Pak Jumadi dan kemudian rumah Pak Kemi di kampung Gedangsewu. Rumah Pak Danu di gang Pandan, dekat Koplakan, sedangkan Pak Soma Giman di kampung Plongko, setengah kilometer dari rumah Pak Arjo.
Semua kawan ini adalah orang melarat dengan penghasilan yang tidak menentu. Pekerjaan Pak Arjo sebagai tukang cukur hasilnya sangat sedikit, tak cukup untuk menghidupi keluarganya. Dari ketujuh kawan tersebut Pak Kemi (Sukemi Handini) memiliki penghasilan agak lumayan sebab selain dari pekerjaan sebagai sopir (mobil pribadi telah dirampas Jepang) juga memiliki sawah, walaupun hanya seperlima hektar. Rata-rata semuanya berpenghasilan kecil, tak mencukupi untuk menghidupi keluarganya.

Mencari “orang tua”
Karena semua merasakan kekurangan dalam mencari nafkah, pada sekitar tahun 1952 , empat bersaudara (Pak Arjo Sopuro, Pak Kemi, Pak Joyo Jaimun dan Pak Soma Giman) ini bermusyawarah, bagaimana caranya untuk memperoleh hasil yang agak lumayan. Keputusannya, akan mencari ‘orang tua’yang dapat menunjukkan jalan untuk menambah penghasilan.
Pada waktu itu di Pare ada aliran kebatinan yang bernama Murti Tomo Waskito Tunggal yang dipimpin oleh pak Citro. Pengikutnya banyak, lebih lagi dari luar kota Pare. Suatu ketika memberi pengumuman bahwa besok pada hari, tanggal serta jam yang disebutkan , Pak Citro akan kembali ke haribaan Tuhan (wafat). Ratusan orang diangkut puluhan mobil mendatangi rumah Pak Citro pada hari yang disebutkan tadi. Semua bertujuan ingin menyaksikan bahwa ada seseorang yang bisa menentukan hari kematiannya sendiri. Akhirnya semua bubar, Pak Citro ternyata masih hidup sampai beberapa tahun kemudian. Selanjutnya aliran kebatinan Murti Tomo Waskito Tunggal ini sepi, pengikutnya sudah tidak percaya lagi..
Ada aliran kebatinan bernama Suwono (Suwung Ono = Kosong tetapi Ada). Keempat orang ini berencana mendatangi tempatnya. Tujuannya hanya minta sarana, bagaimana cara yang mudah untuk memperoleh penghasilan yang cukup. Ketika datang ditempat ini (Pak Sastro nama pemilik rumah ini. Sebutannya Pak Sastro Suwono) , disitu sudah terhidang empat cangkir berisi minuman kopi panas., padahal tak seorangpun yang memberi tahu bahwa akan bertamu kesana. Ini berarti waspada dalam penglihatan. Karena itu keempat orang ini lebih mantap, ingin berguru dengan tujuan untuk dapat memperbaiki perekonomian sehari-hari.
Pelajaran awal adalah cara mengetahui isi saku tiap orang tanpa memegangnya. Pada tahap ini ada diantaranya yang dapat mempraktekkan . Pak Arjo Sopuro tidak bisa melakukan.

Ditengah jalan, ketika dalam perjalanan pulang, Pak Arjo Sopuro memberi tahu teman-temannya “Kalau hanya seperti itu, aku besok ya bisa melakukannya”.
Pada kesempatan lain, ketika bertamu lagi kerumah Pak Sastro, Pak Arjo Sopuro dapat menebak seluruh isi saku temannya. Di lain waktu, ada latihan melepaskan roh. Caranya, dengan tiduran, kedua tangan diletakkan di dada. Selanjutnya menahan napas. Pikiran diarahkan kebawah pusar, kemudian dibelokkan kekiri. Pak Kemi bisa melaksanakan. Ketika pikiran dari pusar dibelokkan kekiri, terasa seperti jatuh ketanah! Seluruh badan terasa bergetar.
Pada kesempatan itu ternyata Pak Arjo juga tidak bisa melakukannya. Ditengah perjalanan pulang, Pak Arjo Sopuro berkata lagi “Kalau hanya seperti itu, aku besok juga bisa” . Ternyata pada kesempatan berikutnya dapat melaksanakan latihan tersebut .
Kawannya heran. Dalam hati bertanya : “Siapa yang mengajari kok dia bisa melakukan hal itu ?”. Demikian itu dilakukan berkali-kali, setiap ada latihan baru, pada kesempatan berikutnya Pak Arjo Sopuro tentu dapat melakukannya.
Latihan tersebut dilanjutkan sampai selesai. Ada latihan melihat cahaya dalam sanubari. Bila ada yang melihat cahaya, misal cahaya hijau atau cahaya merah dan sebagainya, semua hanya dikomentari oleh Pak Sastro dengan jawaban “Ya itu”. Tanpa ada penjelasannya. Selanjutnya perguruan Suwono menujukkan adanya dua belas saudara: Aku, Roso, Permono, Indro, Bromo, Bayu, Sukmorojo, Sukmonogo, Jatingarang, Mayonggoseto, Bagindokilir. Tetapi tak ada penjelasan tentang saudara dua belas itu, hanya menyebutkan bahwa dalam badan setiap orang didukung dua belas saudara. Oleh karena itu jika ditanyakan, jawaban Pak Sastro hanya “Ya itu”.

Pada waktu akhir latihan Pak Sastro menunjuk Bapak Arjo Sopuro sambil berkata “ Dia kelak yang akan menjadi guru rohani (dalam bahasa Jawa disebut “peguron”).

Hubungan keluarga Pak Arjo Sopuro dan Pak Kemi
Pak Arjo Sopuro, karena sangat menderita kekurangan penghasilan, jarang-jarang pulang kerumahnya, terutama bila pada hari tersebut tidak memperoleh penghasilan. Tidur di lapaknya yang berada di pinggir jalan Koplakan. Diceritakan, dari empat mitra ini yang punya penghasilan cukup hanya Pak Kemi. Karena itu, bila sedang tak ada yang akan dimakan sekeluarga pada hari itu, kadang menyuruh salah satu puteranya meminjam beras pada Pak Kemi. Hubungan Bu Kemi dan Bu Arjo itu sangat erat, melebihi saudara kandung. Tak ada pikiran lain, malah kebetulan masalah pinjam meminjam itu menjadi pengikat persaudaraan. Umur Pak Kemi jauh lebih tua dari Pak Arjo Sopuro. Karena itu Pak Arjo Sopuro menuakan Pak Kemi dengan sebutan kakak Kemi, dan sebaliknya Pak Kemi hanya menyebut Arjo saja, tanpa sebutan apa-apa. Kelak, ketika Pak Arjo sudah dikenal dengan nama Sri Gutomo, Pak Kemi menyapa dengan sebutan Pak Sri atau Mas Arjo, Pak Arjo dengan segera membetulkan dengan mengatakan “Panggil namaku Arjo saja”.

Bapak Sukemi Handini (Pak Kemi)
Tokoh Pak Kemi ini penting, karena selama dua tahun awal peristiwa turunnya wahyu sujud, beliaulah yang selalu dipanggil oleh Pak Arjo untuk menyaksikan setiap kali turun wahyu (perintah) dari Hyang Maha Kuasa. Tatkala teman yang lain sudah berdatangan, tetapi Pak Kemi belum datang, Pak Arjo selalu menyuruh memanggilkan beliau. Karena itu beliau disebut sebagai “paseksen” pertama, yang artinya orang yang menjadi saksi pertama dalam penerimaan wahyu.
Pak Kemi berasal dari Demak, dekat kota Kudus dan Semarang, ibukota Jawa Tengah. Ayahnya bernama Saji Joyo Ulomo. Orang berkecukupan, sawahnya beberapa hektar. Sayang Pak Saji Joyo Ulomo kurang giat dalam pertanian. Siang malam kerjanya hanya mengaji (mendalami Al Qur’an) saja. Oleh karena itu, sedikit demi sedikit sawahnya habis terjual. Anak-anaknya menderita kemiskinan. Pak Kemi sejak muda senang mencari ilmu , belajar ilmu pada guru kebatinan dimana-mana. Tak heran bila memiliki banyak ilmu kebatinan (lebih dari 40 ilmu). Beliau pernah bercerita, pada suatu hari mencari bambu dipinggir hutan untuk dijual. Ketahuan penjaga hutan, kemudian dikejar. Sambil membawa satu lonjor bambu, perjaka Sukemi kemudian melompati sungai yang agak lebar. Selamat, tidak tertangkap karena „ilmu“nya. Bambu kemudian dijual.
Sejak saat itu sadar, bila terus menerus demikian keberadaannya, tentu sengsara hidupnya. Kemudian mempunyai rencana untuk menjadi kernet (pembantu sopir) mobil. Setelah rencana tersebut dilaksanakan, lama kelamaan bisa menjadi sopir mobil. Karena rajin menabung, selanjutnya dapat membeli mobil pribadi, dan tercatat sebagai orang pertama di Pare yang memiliki mobil pribadi. Pada waktu penjajahan Jepang, mobil ini dirampas oleh Jepang.

Pertanda akan kedatangan wahyu.
Kembali lanjutan ceritera. Pada suatu malam, tatkala pak Arjo tidur dilapaknya, bermimpi didatangi seorang Raja yang memberikan baju kebesaran kerajaan. Keesokan harinya, tergesa-gesa menemui Pak Kemi. “Semalam aku didatangi seorang Raja, yang kemudian memberiku baju kebesaran kerajaan” Mendengar ucapan ini, pak Kemi mengetahui, bahwa itu adalah tanda akan menerima suatu tugas besar dari Hyang Maha Kuasa. Walaupun demikian, mengacu pada pengetahuan yang dimiliki, Pak Kemi tak boleh menjelaskan maknanya karena yang demikian itu mendahului kehendak Tuhan. Oleh sebab itu, pak Kemi kemudian malah tertawa sambil berkata “ Ya begitu mimpinya orang menderita kemiskinan, menginginkan sesuatu yang menyenangkan yang dapat melupakan penderitaannya”. Tetapi dalam hati merasa bahagia mendengar berita ini. Terbersit dalam hati, kapan tiba waktunya peristiwa tersebut. Sekarang tinggal mengamati dan menunggu saatnya saja.

Wawasan 1.

Untuk mengawali tulisan ini, memerlukan suasana yang santai dan tenang agar apa yang ditulis optimal. Hanya kebetulan gending tersebut diatas yang diputar. Bukan suatu ketentuan.

Hamba mulai menulis, dimaksudkan bahwa penulis menghambakan diri pada pembaca, agar pembaca memahami bahwa penulis "bukan apa-apa" dan tak memiliki kedudukan yang patut diperhatikan.

Hyang Maha Suci bersemayam didalam diri setiap manusia, memiliki cahaya yang dapat menerangi kehidupan setiap orang. Wayang kulit adalah gambaran wadag (badan jasmani). Setiap gambar mewakili pribadi seseorang. Hyang Maha Suci yang menggerakkannya, walaupun sebenarnya digerakkan oleh ki dalang. Seseorang yang ditinggal Hyang Maha Suci akan kehilangan daya hidup, istilah itu disebutkan bagaikan Gatotkaca kehilangan gapit (penunjang dari tanduk kerbau). "Nglumpruk". Tak berdaya sama sekali.

Hyang Widhi yang memilikinya, diartikan bahwa walaupun Hyang Maha Suci yang menggerakkan, bukan berarti juga yang memiliki. Pemiliknya adalah Hyang Widhi. Sedangkan Hyang Maha Kuwasa penonton sekaligus pemilik rumah dan keseluruhannya. Hyang Maha Kuasa tidak melarang atau menyuruh seseorang untuk berbuat ini-itu. Segala perbuatan manusia akan dibebankan pada Hyang Maha Suci.

Pembaca yang terhormat, ini wawasan yang hamba ketahui, tentu pembaca memiliki wawasan yang lebih luas, silahkan menulis komentar, agar pembaca lain memperoleh manfaatnya.

Pendahuluan

Banyak orang menyebutkan nama yang salah. Yang benar adalah Arjo Sopuro, bukan Arjo Sepuro, atau Arjo Seputro. Pendidikan hanya sampai klas 3 Sekolah Dasar. Dapat sedikit membaca dan menulis. Mitranya, Pak Kemi, malah tidak pernah bersekolah. Ada yang menulis tahun kelahirannya 1916. Tetapi tak ada catatan atau bukti otentik tentang hal itu.

- - - - - - - -

Berdasar cerita dari keluarga dekat pak Arjo Sopuro.

Orang tua (ayah) pak Arjo berasal dari Aceh. Ketika masih jejaka, dari Aceh pergi ke Solo (Surakarta) karena ada saudaranya yang tinggal di Solo. Suatu hari ingin pergi ke Kediri. Kemudian Di Kediri (Pare) ketemu jodoh, dan menikah dengan wanita dan lahir bayi laki-laki diberi nama Rohiman. Selanjutnya balik lagi ke Solo untuk mencari kerja, dan dapat pekerjaan di PJKA (Kereta Api). Suatu hari mendapat berita bahwa anaknya (Rohiman) sakit. Dalam perjalanan ke Kediri, singgah dikota Nganjuk mencari obat. Bertemu seorang tua yang mengatakan bahwa anaknya tidak sakit, tetapi sudah meninggal. Tentu saja berita ini sangat mengagetkan dan menyusahkan. Tetapi orang tua tersebut menyuruhnya mencari tolo (sarang tawon) untuk mengurapi (mblonyohi), dan mengatakan jika sembuh agar diganti namanya menjadi Arjo Sopuro yang artinya tetap hidup (Arjo) berkat ampunan (Sopuro= Sepuro=Pangapuro) dari Hyang Maha Kuasa.

Bila cerita ini benar, maka peristiwa "racut" yang akan dialami pada bulan Pebruari 1954 adalah pengalaman "mati" yang kedua kali.

Pak Arjo hanya memiliki satu adik perempuan yang bersuamikan Pak Sani (almarhum)

- - - - - - - - - -

Kampung Koplakan berada ditengah kota Pare, berseberangan dengan Pasar Lama. Pada waktu itu, kampung kumuh ini dijejali penghuni dengan mata pencaharian seadanya. Sekarangpun setelah lebih dari 50 tahun, masih terlihat kumuh, belum tertata rapi. Didalam kampung yang kumuh tersebut, sosok pribadi Pak Arjo Sopuro terlihat amat menonjol, terutama sifat keras hati dan jujur dan selalu menepati janji. Pribadi yang bertolak belakang dengan keadaan masyarakat sekelilingnya.

Dulu transportasi dilakukan dengan dokar (kereta ditarik kuda). Walaupun ada mobil angkutan, tetapi masih jarang. Para saudagar perhiasan mas dan berlian dari Kediri, setelah menjajakan dagangannya dengan berkeliling, biasanya pulang ke Kediri tanpa membawa sisa dagangannya, khawatir kemalaman dijalan. Mereka menitipkan sisa dagangannya pada Pak Arjo Sopuro, orang yang dapat dipercaya.

Bedak (lapak) tempat cukur rambut sampai sekarang hampir tak berubah keadaannya. Ditempati putrinya (Mbak Wik) yang berjualan bunga tabur untuk makam. Banyak warga yang menafsirkan sebagai tanda agar warga selalu menebarkan keharuman (nama) dengan perilaku dan budi pekerti yang luhur.

Pak Purboyo, putra bungsu, lahir setelah Pak Arjo menerima wahyu sujud. Karena itu diharapkan dapat menjadi penerus beliau (Pak Arjo). Saat ini tinggal di Jakarta, hanya kadang kala pulang ke Pare.

Persahabatan yang sangat erat.

Setelah selesai perang kemerdekaan (tahun 1949) kehidupan rakyat amat sengsara. Dimana-mana banyak orang kelaparan. Untuk menghadapi keadaan demikian ini, kemitraan adalah hal yang lumrah. Saling membagi rejeki dan tolong menolong adalah kehidupan sehari-hari. Karena itu persahabatan antara Pak Arjo dan mitra lain merupakan hal yang wajar. Karena itu, mitranya dari segala kalangan: pedagang, sopir, kernet, guru dan sebagainya. Tetapi semuanya dari kalangan ekonomi rendah. Yang tidak biasa adalah persahabatan itu demikian erat, seolah masing-masing terikat dalam satu kesatuan tugas yang mereka tidak menyadarinya.

Mencari "orang tua"

Kebiasaan orang Jawa menjunjung tinggi keberadaan orang yang lebih senior dalam mengarungi samodra kehidupan. Orang-orang tersebut di"tua"kan sebagai tanda menghormati. Dalam kasus ini, "orang tua" adalah orang yang berilmu, yang memiliki doa ampuh atau ilmu pengetahuan supra natural. Keberadaannya selalu dicari orang yang memerlukannya. Entah untuk memberi nasehat dan wawasan atau transfer ilmu. Kebetulan disana ada dua aliran kebatinan yang menjadi tujuannya.

Aliran kebatinan Murti Tomo Waskito Tunggal (bukan Hardo Pusoro) sebenarnya banyak pengikutnya. Tetapi karena pimpinannya "salah langkah" dengan memberi pengumuman atas kematiannya sendiri, ditinggalkan pengikutnya karena terbukti tidak mati. Tetapi aliran lain (Suwono) masih tetap ada selama apa yang diajarkan dapat diterima masyarakat.

Suwono dari singkatan "suwung" = sesuatu yang kosong atau sesuatu yang tak berisi apa-apa, tak berpenghuni, dan "ono" artinya ada. Dengan kata lain ditempat yang dianggap suwung (tak berpenghuni) itu ada yang menempati. Amat disayangkan bahwa Pak Sastro tidak bisa menjelaskan apa yang dimaksudkannya (yang menempati tempat kosong itu). Semua hal yang diamati dan dirasakan para pengikutnya hanya dijawab "Yo Kuwi" atau "Ya itu". Tanpa penjelasan lain.

Selanjutnya pada setiap pertemuan, pada awal pelajaran, selalu Pak Arjo tak dapat mempraktekkan pelajarannya, tetapi dilain kesempatan, bisa melakukannya. Para mitranya memprediksi bahwa ada yang mengajari. Tetapi siapa, toh tak pernah ada tamu atau kenalan lain dirumah Pak Arjo. Latihan melihat sinar atau cahaya itu dilakukan dalam keadaan mata tertutup, dan dalam ruangan yang digelapkan.Pelaksanaannya dalam samadi. Nama dua belas saudara. Suwono menunjukkan nama kedua belas saudara yang berada dalam badan wadag (jasmani) setiap orang. Tetapi keberadaannya, termasuk tempatnya, asalnya, dan kegunaannya tidak diterangkan. Setiap pertanyaan dijawab dengan "Yo kuwi" atau "Ya itu". Tentu saja jawaban ini kurang memuaskan. Tetapi paling tidak orang mengetahui bahwa badan wadag ini dihuni oleh dua belas "saudara", dengan nama-nama tersebut diatas.

Ramalan.

Bahwa pak Sastro menunjuk Pak Arjo akan menjadi guru rohani, bukan berdasar ramalan, tetapi berdasar sifat dan kepribadian Pak Arjo yang patut untuk menjadi guru rohani.

Hubungan keluarga Pak Arjo Sopuro dan Pak Kemi.

Menurut penuturan, memang antara Pak Arjo dan Pak Kemi itu seperti ada ikatan batin yang sangat erat. Masing-masing seperti tahu apa yang telah dan akan dilakukan dalam kehidupannya. Karena itu tak heran bila hubungan kedua keluarga itu seperti saudara sendiri.

Bapak Sukemi Handini (Pak Kemi)Pak Kemi ini sebagai saksi pertama turunnya wahyu, dan juga ikut menyaksikan wafatnya Pak Arjo pada tahun 1964. Menurut catatan lahir pada waktu gunung Kelud meletus tahun 1901 dan wafat tahun 1993 dirumahnya dusun Gedang Sewu. Disebut Gedang Sewu karena lahannya dipenuhi pohon pisang. Pak Diman, yang pertama kali menggambar simbol Sapta Darma adalah keponakan Pak Kemi. (Sekitar tahun 2000 Pak Diman masih hidup). Sampai akhir hayat, Pak Kemi tetap menjalankan sujud, dan menjadi tempat bertanya dan memberi saran pengobatan orang-orang, terutama penduduk kecamatan Kepung, dua belas kilometer dari Pare, dikaki gunung Kelud. Tidak pikun, dan ingat semua kejadian yang telah dialami, termasuk awal penerimaan wahyu. Beliau selalu berpesan untuk tidak mendiskusikan apa yang dilihat dan diamati pada waktu sujud, karena itu akan memendekkan umur. Demikian wawasan untuk kali ini.

Peristiwa kedatangan wahyu.
Tanggal 26 Desember 1952.
Masih pagi Pak Arjo sudah berada dirumah Pak Kemi di desa Gedang Sewu Pare. Sekitar jam 9.00 pagi, Pak Arjo berkata pada Pak Kemi: “Kakak, aku mau pulang sekarang, akan mendapat pelajaran dari Guru” Mendengar perkataan ini Pak Kemi merasa heran, dalam hati bertanya-tanya “Siapa Gurunya Arjo itu”
- - - - - - - - -
Mohon maaf sebelumnya untuk para pembaca., saya akan menulis saat kejatuhan wahyu, hanya sekedar mengulang ceritera saja, tentu akan banyak kesalahannya, karena tidak turut hadir pada saat kejadian yang sebenarnya. (Umurku baru 9 tahun tatkala itu, dan jaraknya 50 Km dari rumah orang tuaku)
Para saksi, kalau ada yang masih hidup, mohon untuk membetulkan penuturan ini.
- - - - - - - - -
Malam itu (26 Desember 1952) Pak Arjo sedang duduk bersender disalah satu tiang pada dinding rumahnya menghadap ke Barat.
Tak ada yang mengetahui awal mulanya, sekitar jam satu malam, tiba-tiba kedua lengan tangan seolah dipaksa bersikap sedakep, tangan kanan menutupi tangan kiri, begitu pula kedua kaki dipaksa bersila dengan kaki kanan menutupi kaki kiri.
Selanjutnya badan diputar menghadap kearah Timur. Kemudian mulut mengucapkan kalimat :”Allah Hyang Moho Agung, Allah Hyang Moho Rochim, Alah Hyang Moho Adil, Allah Hyang Moho Wasesa, Allah Hyang Moho Langgeng". Kata-kata ini diucapkan dengan keras, spontan dan tak dapat ditahan-tahan.
Setelah selesai, tubuh Pak Arjo menunduk kebawah sampai kening dan hidung menempel dilantai (sujud). Sujud ini berlangsung tiga kali. Sujud pertama, ketika kening dan hidung menempel dilantai, mulutnya mengucapkan “Hyang Moho Suci sujud Hyang Moho Kuwoso” Kalimat itu diulang tiga kali.
Sujud kedua, seperti diatas dengan ucapan “Kesalahane Hyang Moho Suci nyuwun ngapuro Hyang Moho Kuwoso” Juga diulang tiga kali.
Sujud ketiga, ucapan “Hyang Moho Suci Mertobat Hyang Moho Kuwoso”. Ucapan ini diulang tiga kali pula.
Gerak sujud ini tak dapat ditahan atau dibatalkan. Padahal berlangsung mulai sekitar jam satu tengah malam sampai dengan pukul 3.30 pagi, (ayam jago berkokok pagi hari). Setiap kali gerak sujud ini diulang kembali mulai dari awal. Tak dapat dihentikan. Pak Arjo dipaksa melakukannya sampai sangat kepayahan.

- - - - - - -
Pagi itu, diliputi rasa takut yang amat sangat, Pak Arjo segera pergi kerumah Pak Kemi, dengan tujuan akan menceriterakan kejadian yang telah dialaminya, mungkin Pak Kemi dapat memberi penjelasan tentang hal ini, sebab Pak Kemi memiliki pengetahuan luas karena sudah pernah berguru empat puluh kali. Harapannya Pak Kemi dapat menerangkan kejadian ini.
Sesampainya dirumah Pak Kemi, bertemu Pak Kemi sendiri. Belum sampai selesai bercerita tentang kejadian semalam, tubuh Pak Kemi tiba-tiba bergerak melakukan sujud menghadap ke Timur, dan mengucapkan kata-kata seperti yang terjadi dengan Pak Arjo semalam.
Merasakan gerakan disertai getaran yang demikian dahsyat, Pak Kemi tak dapat berkomentar apapun. Kaget dan takjub disertai rasa takut. Setelah istirahat beberapa saat, baru dapat saling berbicara. Kemudian Pak Arjo melanjutkan ceritera tentang apa yang dialaminya semalam. Selanjutnya diambil keputusan untuk bersama mendatangi rumah Pak Joyo Jaimun.
Disana, dirumah Pak Joyo Jaimun, kejadian tersebut terulang kembali. Begitu pula ketika mereka bertiga pergi kerumah pak Soma Giman. Untuk selanjutnya, keempat orang tersebut sepakat untuk melakukan sujud ini dirumah masing-masing. Hanya Pak Arjo , bila malam telah tiba, tidak berani tidur di rumahnya sendiri., merasa takut bila nanti ada gerakan lagi. Karena itu, keempat orang tersebut, bila malam telah tiba, bergantian tidur bersama-sama. Terkadang di rumah Pak Kemi, dirumah Pak Joyo Jaimun , Pak Soma Giman atau dirumah Pak Arjo sendiri di kampung Koplakan itu.


Kampung Koplakan.
Pada tahun 1952 (turunnya wahyu), kampung Koplakan telah terkenal sebagai tempat kumuh, tempat mangkal para preman yang melakukan berbagai kejahatan. Bila ada pencopet atau pencuri yang ketahuan dan kemudian dikejar orang, arah larinya pasti ke Koplakan. Kalau sudah sampai disana, bersembunyi, dan tak bisa ditemukan, karena disembunyikan oleh orang-orang disana. Dikampung Koplakan ini pula tempat orang melakukan permainan Ni Diwud (Jaelangkung), minum minuman keras, bermabuk-mabukan, orang berjudi dan sebagainya.. Karena itu, penduduk kecamatan Pare menjauhi kampung Koplakan ini , khawatir bila nanti terbawa oleh kelakuan para penghuni disitu.
Para sahabat.
Setelah terjadi peristiwa kedatangan wahyu, para sahabat dan mereka yang kenal dengan Pak Arjo, bersama-sama ingin menyaksikan kejadian tersebut, dan kemudian melakukan sujud seperti Pak Arjo. Ternyata gerak tubuh itu tidak terbatas pada sujud saja. Ketika Pak Joyo Jaimun berkata “Aku ingin mengetahui gerak tubuh Sukmo Nogo (Sukma Ular Naga)”, seketika itu pula badannya terbanting kemudian bergeliat-geliat seperti pergerakan ular. Begitu pula tatkala berkata ingin mengetahui gerak Mayonggo Seto (Kera Putih), saat itu pula berceloteh seperti kera dan meloncat-loncat kesana kemari. Latihan ini dilakukan pada malam hari. Terkadang ada suara auman layaknya auman singa, suara kaki berdebugan seperti latihan bela diri dan sebagainya.
Rumah Pak Arjo berdinding gedeg (anyaman bambu) yang berlubang-lubang. Para tetangga sering mengintip dari celah-celah dinding anyaman bambu itu. Salah seorang , ketika sedang asyik mengintip, matanya disengat kalajengking, kemudian berteriak-teriak. Pak Arjo mendekat. Setelah diusap dengan tangan, hilang sakitnya. Selanjutnya ada orang lain yang sakit, dapat disembuhkan pula. Lama kelamaan, banyak orang sakit berdatangan ketempat ini. Semuanya dapat disembuhkan. Karena itu kemudian tersebar berita bahwa ada dukun baru di kampung Koplakan Pare.

Kesaksian para pengikut kebatinan.
Pada waktu itu banyak pengikut kebatinan yang mendapat firasat bahwa akan terjadi peristiwa kedatangan wahyu besar Orang mengatakan "pulung agung". Karena itu, sebagian besar melakukan ritual mengurangi tidur dimalam hari dan bersemadi ditempat tertentu. Ada beberapa orang melihat dengan mata batin, suatu cahaya besar jatuh menuju kampung Koplakan Pare diikuti dengan suara bergemuruh, dalam sanubari. Benar atau tidak, hamba tidak dapat memberi komentar.
Catatan
Para sahabat Pak Arjo yang telah menjalani sujud, ada yang tetap melakukan sujud sampai akhir hayat. Tetapi banyak pula yang hanya ingin mengetahui ajaran ini, selanjutnya tidak melakukan sujud lagi. Hal tersebut terserah pada pribadi masing-masing. Dari kalangan putri, Ibu Sukemi adalah wanita pertama yang melakukan sujud.Dan tetap melakukan sujud sampai akhir hayat (tahun 2000). Ibu Arjo Sopuro malah belakangan baru sujud.

Wawasan 2

Peristiwa kedatangan wahyu.

Disebutkan bahwa wahyu datang secara tiba-tiba. Tetapi bukan berarti sama sekali tak ada tanda-tanda yang mengawalinya. Setelah merenung dan mengingat ingat, ternyata memang tanda-tanda kedatangan wahyu itu ada, tetapi luput dari pengamatan. Jika mengingat bahwa pada Kamis Pon 26 Desember 1952 sekitar jam 09.00 pagi itu Pak Arjo memberitahu Pak Kemi bahwa ada perintah dari "guru"nya untuk pulang karena akan di"wejang guru", dapat disimpulkan bahwa saat itulah awal kedatangan wahyu tersebut.

Proses tersebut berlangsung terus dengan puncaknya terjadi pada jam 01.00 malam hari sampai jam 03.30. Belum berakhir sampai disitu, sebab mitranya: Pak Kemi dan Pak Joyo Jaimun juga merasakan getaran dan gerakan luar biasa tersebut sampai jam 09.00 pagi. Maka proses kedatangan wahyu sujud ini mulai jam 09.00 pagi tanggal 26 Desember 1952 sampai dengan jam 09.00 tanggal 27 Desember 1952.

- - - - - - -

Penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya pada pembaca, terutama para warga Kerohanian Sapta Darma, karena tanpa perkenan telah menulis proses kedatangan wahyu, yang mungkin berbeda dengan apa yang selama ini telah diketahui para Warga. Ada versi yang mengatakan bahwa orang pertama yang diberitahu tentang kejadian luar biasa ini adalah Pak Joyo Jaimun, mengingat rumahnya paling dekat dengan rumah Pak Arjo. Ada pula yang menulis bahwa Pak Soma Gimanlah yang pertama dituju, dengan catatan Pak Soma Giman orang yang memiliki banyak ilmu. Penulis hanya mencatat, bahwa Pak Kemi sampai akhir hayat (tahun 1993) tetap melakukan sujud sebagai cara untuk menyembah Hyang Maha Kuwasa. Beliaupun tak pernah mempermasalahkan, siapa yang pertama kali didatangi Pak Arjo ketika menerima wahyu tersebut.



free counters